I. Pengantar
Buku “Aspirasi
Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia, Studi Sosio-Legal Atas Konstituante
1956-1959” karya Dr. Adnan Buyung Nasution dapat dipandang sebagai naskah
komprehensif untuk memotret perjalanan konstitusionalisme di Indonesia, paska
pengesahan UUD 1945 hingga sebelum Amandemen UUD oleh MPR RI 1999-2002.
Buku yang diterbitkan dari disertasi Adnan
Buyung ini, meski pembahasannya menitikberatkan pada persidangan konstituante November
1956 sampai 2 Juni 1959 untuk menyusun undang-undang dasar baru bagi Indonesia,
namun aspek-aspek lain di luar persidangan juga dibahas dalam buku ini.
Papper ini akan mereview gagasan utama dalam buku tersebut, terutama
mengenai konsepsi tentang negara : Negara Integralistik, Negara Islam, dan
Negara Konstitusional. Alasan dipilihnya pembahasan atas tiga obyek tersebut,
karena sebenarnya hampir semua bab dalam buku itu mengungkapkan perdebatan dari
ketiga pandangan tersebut.
II. Dasar Ideologis
Negara Dan HAM
Adnan Buyung Nasution, pendiri Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) yang pada masa Orde Baru merupakan salah satu elemen
penting pergerakan rakyat yang kritis, khususnya di bidang hukum. Sikap kritis
Adnan Buyung tampak dalam persidangan HR Dharsono, yang dituduh makar oleh Orde
Baru. Sikap kritis dan berani Adnan Buyung dalam membela HR. Dharsono, membuat
ia dituduh melakukan contempt of court,
dan ijin prakteknya dicabut. Kemudian Adnan Buyung ke Belanda untuk melakukan
studi doktoral di Universiteit Utrecht.
Konstituante yang dibentuk paska Pemilu
1959, bertugas untuk merumuskan UUD baru. Anggota Konstituante bersidang selama
tiga tahun, sebelum kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Pada Bab I buku itu Adnan Buyung
mendeskripsikan tentang Kehendak Rakyat Akan Kebebasan Politik. Bab ini sebagai
pendahuluan, sehingga mengetengahkan hal-hal yang bersifat teoritik, juga
sejarah Indonesia sejak pendudukan Jepang hingga kemerdekaan. Dasar teoritik
buku itu, adalah tentang konstitusionalisme. Konstitusionalisme itulah yang
menjadi titik pijak Buyung untuk membedah UUD 1945, sekaligus membahas apa yang
sebenarnya terjadi di dalam maupun luar ruang sidang Konstituante.
Pada Bab II, Buyung berbicara soal Dasar
Negara, dimulai pembahasan teoritik, hingga membahas perdebatan dasar ideologis
negara Indonesia. Di sini Buyung memetakan ada tiga kelompok masyarakat yang
memiliki gagasan tentang dasar negara : Negara Integralistik, Negara Islam, dan
Negara Konstitusional. Meskipun dalam pengelompokan aspirasi ideologis, terbagi
dalam
a. Blok Pancasila,
yang menganggap bahwa kelima sila – Ketuhanan, Perikemanusian, Nasionalisme,
Demokrasi, dan Keadilan Sosial – merupakan dasar negara (PNI, IPKI, GPPS,
Parkindo, Partai Katolik, PKI, Republik Proklamasi, Acoma, PSI, Baperki)
b. Blok Islam, yang
mengajukan Islam sebagai dasar negara (NU, Masyumi, PSII, Perti, PTI, GPS).
c. Blok Sosial
Ekonomi yang mengajukan ekonomi sosialis dan demokrasi sesuai dengan pasal 33
dan pasal 1 UUD 1945 sebagai dasar negara (Murba, Partai Buruh).
Konstituante yang merupakan hasil pemilihan
umum tahun 1955 telah menghasilkan perwakilan rakyat. Konstituante yang
terbentuk ini dilantik pada tanggal 10 November 1956 dan merupakan satu-satunya
badan yang berwenang menyusun Undang-Undang Dasar. Anggota Konstituante terdiri
dari wakil partai-partai politik yang terpilih dari hasil pemilu sebanyak 514
orang ditambah 30 orang yang mewakili golongan minoritas ( 12 orang wakil
keturunan cina, 12 orang wakil golongan Indo-Eropa, dan 6 orang mewakili
wilayah yang masih diduduki Belanda yaitu Irian Barat).
Dengan komposisi seperti itu, seringkali dan
bahkan selalu terjadi perdebatan yang sengit diantara wakil-wakil rakyat tersebut.
Hal tersebut memang yang diharapkan dalam pembentukan suatu undang-undang dasar
bagi negara Indonesia yang hasilnya nanti benar-benar merupakan aspirasi dari
rakyat Indonesia yang telah merdeka, dan untuk menentukan masa depan negara
Indonesia.
Menurut Buyung (dalam BAB II) perdebatan
penting yang menjadi perhatian, terutama adalah perdebatan mengenai Dasar
Negara (1957), perdebatan mengenai hak-hak asasi manusia (1958) dan perdebatan
mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 (1959). Perdebatan tentang Dasar Negara
secara formal menyangkut Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi sebagai dasar
negara. Perdebatan tentang hal ini sifatnya abstrak dan jauh dari masalah
praktis yang diperlukan untuk menciptakan kerangka pengaturan negara.
Dalam perdebatan tentang dasar negara
dikemukakan dua konsep negara, yaitu negara integralistik yang memakai
legitimasi kebudayaan Indonesia dan Pancasila sebagai ideologi, serta negara
berdasarkan Islam, dalam sejumlah aspek yang penting kedua konsep tersebut
bertentangan dengan negara konstitusional, yaitu bahwa kedua konsep itu menolak
suatu pembedaan antara negara dan masyarakat, padahal tanpa pembedaan tersebut,
kontrol dan pembatasan kekuasaan oleh rakyat menjadi tidak berarti. Padahal kontrol
dan pembatasan kekuasaan oleh rakyat tersebut ditambah dengan pengakuan HAM
adalah ciri khas suatu negara konstitusional. Kondisi yang terjadi pada saat
itu bahwa pendukung negara konstitusional (baik golongan nasionalis maupun
Islam) juga adalah sekaligus menginginkan suatu negara integralistik atau
negara Islam, hal ini menunjukkan suatu inkonsistensi dalam wawasan yang
disebabkan karena kelemahan konseptual, yaitu konsep tentang makna negara
konstitusional.
Perdebatan tentang dasar negara diatas
segala-galanya adalah suatu konfrontasi antar ideologi, antara pandangan hidup
yang berbeda, yang bagi penganutnya masing-masing hal ini merupakan suatu
kebenaran mutlak, sehingga perdebatan yang dilakukan hanya mampu lebih
meyakinkan diri sendiri dan golongan yang sepaham, tetapi menjadikan
kesepakatan yang semakin menjauh dari pihak lawan, yang akibatnya akan
menimbulkan perdebatan yang antagonis, dan kompromi yang diharapkan akan dapat
dicapai menjadi sesuatu kemustahilan; pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan
polarisasi dan rasa permusuhan satu sama lain.
Perdebatan kedua (ditulis dalam BAB III)
yaitu perdebatan tentang HAM. Perdebatan ini menurut Buyung bersifat konkrit
dan terarah pada perlindungan nilai-nilai kemanusian yang mudah dilanggar,
perlindungan terhadap hak-hak orang lemah dan juga pencegahan terhadap
penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dan golongan kuat dalam masyarakat.
Dalam perdebatan di Konstituante juga terdapat sejumlah perbedaan pendapat yang
berkaitan dengan : kebebasan beragama khususnya kebebasan berpindah agama dan
peraturan agama mengenai perkawinan, tentang kemungkinan penyalahgunaan hak-hak
asasi oleh modal raksasa dan orang kaya.
Perbedaan tentang HAM dalam perdebatan
Konstituante ini tidak mengurangi arti kesepakatan fundamental tentang makna
penting dari jaminan terhadap hak-hak asasi dalam konstitusi. Dalam sidang
plenonya Konstituante menyimpulkan bahwa bab tentang HAM merupakan salah satu
bab terpenting dari UUD yang baru, karena pemerintahan konstitusional yang diinginkan
rakyat Indonesia adalah pemerintahan yang dibatasi oleh hukum dan HAM.
III.
Kolektivisme Sebagai Induk Integralistik
Seperti
telah diungkapkan diawal, tulisan ini hanya akan membatasi pada arus utama
pemikiran Adnan Buyung dalam disertasinya. Arus utamanya tentang Staatsidee Integralistik dan HAM. Dan
dalam disertasinya itu, selain Bab I, Bab II, dan Bab III, lebih banyak kajian
politik, sehingga menurut penulis kurang relevan bila dibahas dari kacamata
Hukum Tata Negara.
Bagi Buyung,
integralistik dianggap sebagai paham yang bersifat Hegelian.
Dan hal yang paling merisaukan Buyung ialah tidak adanya pembatasan kekuasaan
negara, dan hak-hak perorangan tidak perlu dijamin dalam UUD.
Apa yang dimaksud
Buyung itu, dan disebut sebagai prinsip konstitusionalisme, bukan hal baru
dalam kajian tentang UUD 1945. Bahkan saat perumusan di BPUPKI, apa yang
disampaikan oleh Buyung sudah disampaikan oleh beberapa anggota BPUPKI,
terutama Moh. Hatta. Dan bagaimanapun, pandangan Buyung tentang integralistik,
dipengaruhi oleh apa yang sudah dia lakukan, melalui LBH yang ia dirikan..
Sesungguhnya,
tidak berimbang jika membahas staatsidee
Integralistik hanya dari aspek praktek ketatanegaraan Indonesia, terutama
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan rezim otoritarian Orde Baru. Menurut
penulis, dekrit dan otoritarian, merupakan bentuk penyimpangan dari UUD 1945.
Namun karena alat kontrol demokrasi di Indonesia belum berjalan dengan baik,
sehingga dua perilaku menyimpang dari konstitusi itu dapat berjalan.
Staatsidee
Integralistik, sesungguhnya merupakan gagasan yang memiliki akar yang kuat pada
bangsa Indonesia, bukan pengaruh Hegelian. Pandangan bahwa Integralistik
terpengaruh pikiran Hegel, dibantah sendiri oleh Soepomo. Menurut Soepomo dasar
negara tidak bisa hanya mengikuti teori dari negara lain, karena apa yang baik
buat suatu negara belum tentu baik bagi negara lain. Oleh sebab itu Soepomo
berpandangan bahwa susunan negara bertalian erat dengan riwayat hukum dan
struktur sosial. Dalam pandangannya, teori “integralistik” sangat sesuai dengan
riwayat hukum dan struktur sosial masyarakat Indonesia.
Soepomo maupun Soekarno ingin Indonesia yang akan didirikan
itu dibangun atas sendi-sendi baru, tidak terjebak mengikuti negara
individual-liberal. Tapi negara baru yang akan didirikan ialah negara yang
berkedaulatan rakyat. Rakyat merupakan satu kesatuan, bukan
individu-perindividu. Sistem politik yang dijalankan pun tidak menggunakan
sistem individual-liberal, kolektivisme dengan prinsip musyawarah mufakat
melalui perwakilan (rakyat). Dalam sistem pemerintahan, Soepomo dan Soekarno
menolak presidensial murni dan juga menolak sistem parlementer karena kedua
sistem tersebut dianggap cerminan negara liberal.
Secara teoritik,
kolektivisme merupakan induk dari sosialisme. Kolektivisme sangat berbeda
bahkan menolak totaliterianisme. Sehingga pandangan bahwa paham atau staatsidee integralistik bersifat
totaliter, represif sangat tidak tepat. Dalam konteks ekonomi-politik dan
ketatanegaraan, kolektivisme diterjemahkan sebagai “rezim perencanaan”.
Problem manusia
dalam paham individuaistik-liberalistik ialah monopoli, dan dalam madzhab
kolektivisme, monopoli harus ditekan melalui kontrol negara.
Monopoli industri yang dibiarkan, akan melahirkan penindasan dan penghisapan
individu pada individu lain, dan karena itu negara –dalam paham
kolektivisme—harus mengambil alih dengan kekuasaan yang dimilikinya. Negara
harus diberi wewenang untuk menjalankan sistem tujuan-tujuan tersendiri dan
sarana-sarana tersendiri untuk merealisasi tujuan-tujuan bersama mereka
(individu-individu).
Namun hak atau kebebasan negara untuk menjalankan sistem tujuan-tujuan dan
sarana itu dibatasi oleh sebuah kesepakatan dari individu-individu tersebut.
Fitur-fitur umum
semua sistem kolektivis dapat digambarkan, dalam sebuah frasa yang senantiasa
disukai kaum sosialis semua mazhab, sebagai pengorganisasian secara sengaja
seluruh kerja masyarakat demi suatu tujuan sosial yang pasti.
Ihwal bahwa
masyarakat kita masa kini tidak memiliki arah “sadar” ke tujuan tunggal semacam
itu, ihwal bahwa aktivitas-aktivitasnya dipandu oleh dorongan dan fantasi
individu-individu yang tak bertanggungjawab, selalu menjadi salah satu keluhan
utama para pengkritik sosialisnya.
Dalam banyak hal
ini sangat memperjelas persoalan pokoknya. Dan ini segera mengarahkan kita ke
titik munculnya konflik antara kebebasan individu dan kolektivisme.
Aneka ragam kolektivisme, komunisme, fasisme, dan lain-lain, masing-masing
berbeda dalam hal sifat tujuan dari semua usaha masyarakat yang ingin mereka
jadikan arah. Tetapi semua paham ini berbeda dari liberalisme dan
individualisme dalam hal bahwa paham-paham tersebut ingin mengorganisasi
seluruh masyarakat dan semua sumbernya untuk mencapai suatu tujuan tunggal, dan
dalam hal bahwa paham-paham tersebut menolak untuk mengakui adanya
wilayah-wilayah otonom yang di dalamnya tujuan-tujuan individu adalah junjungan
tertinggi. Pendek kata, paham-paham itu bersifat totalitarian dalam arti
sebenarnya dari kata baru ini, yang telah kita adopsi untuk menggambarkan
berbagai wujud yang tak terduga namun tak dapat dipisahkan dari apa yang dalam
teori kita namakan kolektivisme.
“Tujuan sosial”,
atau “tujuan bersama”, yang untuknya masyarakat harus diorganisasikan, biasanya
dideskripsikan secara tersamar sebagai “kemaslahatan bersama”, atau
“kesejahteraan umum”, atau “kepentingan umum”. Tidak perlu banyak perenungan untuk
melihat bahwa berbagai istilah ini tidak memiliki makna definitif yang memadai
untuk menentukan suatu strategi atau rencana aksi khusus.
Kesejahteraan dan
kebahagiaan jutaan orang tak dapat diukur berdasarkan satu skala tunggal
mengenai kekurangan atau kelebihan. Kesejahteraan masyarakat, seperti juga
kebahagiaan seorang manusia, bergantung pada bermacam ragam kombinasi faktor
yang jumlahnya tak terbatas. lni tidak cukup diungkapkan hanya sebagai satu
tujuan tunggal, melainkan sebagai hierarki dari berbagai tujuan, sebuah skala
luas nilai-nilai yang di dalamnya semua kebutuhan setiap orang diberi tempat.
Mengarahkan semua aktivitas kita berdasarkan hanya pada satu rencana tunggal
mengandaikan bahwa setiap kebutuhan kita diberikan peringkatnya sesuai dengan
urutan nilai-nilai yang harus cukup lengkap yang memungkinkan bagi sang
perencana untuk melakukan pemilihan di antara berbagai alur perencanaan yang
berbeda.
Kolektivisme tidak
memiliki ruang bagi humanitarianisme yang luas sebagaimana liberalisme, melainkan
hanya bagi partikularisme sempit dari paham-paham totalitarian. Jika
“komunitas” atau negara lebih utama daripada individu, jika komunitas memiliki
tujuan-tujuannya sendiri yang terlepas, dan lebih unggul, dari tujuan-tujuan
individu, rnaka hanya individu-individu yang bekerja demi tujuan-tujuan yang
sama dapat dipandang sebagai anggota komunitas. Suatu konsekuensi tak
terelakkan dari pandangan ini adalah bahwa seseorang dihormati hanya sebagai
anggota kelompok, maksudnya, hanya jika dan sejauh dia bekerja demi
tujuan-tujuan bersama yang diakui, dan bahwa dia mendapatkan keseluruhan
martabatnya hanya dari keanggotaannya ini dan bukan hanya dari fakta bahwa dia
pada hakikatnya seorang manusia. Sesungguhnya, konsep-konsep kemanusiaan itu
sendiri, dan karenanya konsep-konsep semua bentuk internasionalisme, seluruhnya
adalah produk pan-dangan individualis tentang manusia, dan tak bisa ada tempat
bagi konsep-konsep ini di dalam sistem pemikiran kolektivis.
Mengutip Nietzsche, Tetapi katakanlah kepadaku, wahai, saudara-saudaraku: jika
kemanusiaan masih belum punya tujuan, bukankah kemanusiaan itu sendiri tidak
ada?”
Terlepas dari
fakta dasar bahwa komunitas kolektivisme dapat berkembang hanya sejauh kesatuan
maksud dan tujuan para individu ada atau dapat diciptakan, beberapa faktor
penyumbang memperkuat tendensi kolektivisme untuk menjadi partikularis dan
eksklusif diantaranya, salah satu faktor terpenting adalah bahwa keinginan
individu untuk mengidentifikasi diri dengan kelompok sangat sering merupakan akibat
dari perasaan inferior, dan bahwa 'dengan demikian keinginannya hanya akan
dapat dipuaskan jika keanggotaan dalam kelompok memberi posisi unggul di atas
orang luar. Kadang kala, rupanya, fakta bahwa naluri kekerasan ini, yang si
individu tahu harus dia kendalikan di dalam kelompoknya, tetapi dapat dibiarkan
bebas merajalela di dalam aksi kolektif terhadap orang luar, justru menjadi
dorongan lebih jauh untuk memadukan kepribadiannya dengan kepribadian kelompok.
Ada kebenaran mendalam di dalam judul buku R. Niebuhr, Moral Man and Immoral
Society-betapapun sedikit yang dapat kita setujui di dalam kesimpulan yang
ditariknya dari tesisnya. Sebagaimana dikatakannya di dalam tulisannya yang
lain, sesungguhnya ada “kecenderungan yang meningkat di antara manusia modern
untuk membayangkan diri mereka bermoral karena mereka telah mendelegasikan
tindakanburuk mereka ke kelompok-kelompok yang makin lama makin besar.”
Bertindak demi suatu kelompok rupanya membebaskan orang dari banyak kendala
moral yang mengontrol perilaku mereka sebagai individu dalam kelompok.
Sikap yang jelas
antagonistik yang kebanyakan perencana ambil terhadap internasionalisme lebih
jauh dijelaskan oleh fakta bahwa, dalam dunia yang ada sekarang, semua kontak
dengan pihak luar yang dilakukan suatu kelompok adalah kendala bagi usaha
mereka merencanakan dengan efektif suatu lingkungan yang di dalamnya mereka
dapat mencoba menjalankan rencana itu. Karena itu bukanlah kebetulan bahwa,
sebagaimana telah ditemukan penyunting salah satu kajian kolektif yang paling
komprehensif mengenai perencanaan dengan
perasaan kecewa, sebagian besar perencana adalah nasionalis militan.
Tidak adanya
aturan formal yang absolut di dalam etika kolektivis tentu saja tidak berarti
bahwa tidak ada kebiasaan individu yang bermanfaat yang didorong atau kebiasaan
lain yang dinafikan oleh suatu komunitas kolektivis. Malah sebaliknyag
komunitas kolektivis akan memberikan perhatian yang jauh lebih besar pada
kebiasaan kehidupan individu ketimbang komunitas individualis. Untuk menjadi
anggota yang berguna dalam masyarakat kolektivis, orang memerlukan sifat-sifat
yang sangat jelas yang harus diperkuat melalui praktik terus-menerus.
Konsepsi kolektivisme dalam UUD 1945 dapat dilihat:
1. Kedaulatan berada di tangan rakyat,
dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan rakyat (Pasal 1
ayat (2) UUD 1945).
Hal ini merupakan bentuk konkret dari persatuan antara pemimpin dan rakyat.
Majelis sebagai pemegang kedaulatan rakyat memilih presiden, sebagai mandataris (pasal 6
ayat (2) UUD 1945).
Meski presiden memiliki kekuasaan tertinggi di bawah MPR (Pasal 4
ayat 1, Pasal 5, Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17 UUD 1945), namun pada hakekatnya dia harus
tunduk pada Majelis. Presiden adalah “petugas” Majelis dalam menjalankan Garis
Besar Haluan Negara (Pasal 3 UUD 1945).
2. Karena negara mengatasi segala
golongan yang ada dalam masyarakat, maka hal itu diwujudkan dalam keanggotaan
MPR (Pasal 2 ayat (1) UUD 1945). Secara umum keanggotaan MPR dibagi tiga :
a. Golongan Politik (Anggota DPR)
b. Golongan Fungsional (Utusan
Golongan)
c. Golongan Rakyat (Utusan Daerah)
Dari ketiga
golongan itu, hanya golongan politik yang dipilih melalui sistem demokrasi
kepartaian, bukan demokrasi yang individualistik-liberalistik.
3. Kekuasaan negara menggunakan sistem Distribution of Power. Karena hakekatnya
MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, MPR yang memiliki kekuasaan tertinggi,
maka MPR lah yang punya kewenangan untuk mendistribusikan kekuasaan untuk
menjalankan negara. Oleh MPR kekuasaan didistribusikan :
a. Eksekutif pada Presiden (Pasal 4-15
UUD 1945).
b. Legeslatif pada DPR (Pasal 19-22 UUD
1945).
c. Yudikatif pada Mahkamah Agung (Pasal
24-25 UUD 1945).
d. Konsultatif pada Dewan Pertimbangan
Agung (Pasal 16 UUD 1945.
e. Auditif pada Badan Pemeriksa
Keuangan (Pasal 23 ayat (5) UUD 1945).
Karena masing-masing pemegang kuasa itu memperoleh kekuasaan
dari MPR, maka diantara mereka tidak bisa saling menjatuhkan seperti di negara
liberalistik-individualistik. Diantara mereka hanya menjalankan fungsi check and balances. Hal itu sekaligus
menyiratkan kuatnya gagasan kolektivisme.
IV. Kesimpulan
Dengan pembahasan tersebut di atas,
maka perlu ada pemahaman yang lebih mendasar tentang gagasan Integralistiknya
Soepomo. Integralistik bukanlah totaltarianisme yang potensial otoritarian,
namun Integralistik merupakan “Rezim Perencanaan”. Kolektivisme merupakan lawan
dari individualisme. Kolektivisme merupakan bentuk modern dari paguyuban, di
mana tiap anggota paguyuban memiliki ikatan darah dan/atau ikatan daerah. Paham
itulah yang sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia.
Hak asasi manusia, dalam paham
kolektivistik tidak bersikap mutlak, karena sesungguhnya hak asasi seseorang
selalu dibatasi oleh orang lain. Paham individualistik-liberalistik meletakkan
pembatas antar hak asasi yang satu dengan hak asasi yang lain dalam wilayah
hukum, namun paham kolektivistik justru meletakkan pembatas pada negara, karena
negara asal mula keberadaannya untuk mengatur individu-individu.
Eksperimen MPR paska reformasi yang
mengubah UUD 1945, mengganti staatsidee Integralistik dengan paham
individualistik-liberalistik, justru meniptakan jebakan-jebakan konstitusional,
dan jebakan-jebakan ketatanegaraan. Bila tak disikapi secara serius, maka
jebakan-jebakan tersebut dapat membahayakan eksistensi negara.