Sabtu, 05 Oktober 2019

Review Atas Desertasi Dr. Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia, Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959


I. Pengantar

Buku “Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia, Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959” karya Dr. Adnan Buyung Nasution dapat dipandang sebagai naskah komprehensif untuk memotret perjalanan konstitusionalisme di Indonesia, paska pengesahan UUD 1945 hingga sebelum Amandemen UUD oleh MPR RI 1999-2002.
Buku yang diterbitkan dari disertasi Adnan Buyung ini, meski pembahasannya menitikberatkan pada persidangan konstituante November 1956 sampai 2 Juni 1959 untuk menyusun undang-undang dasar baru bagi Indonesia, namun aspek-aspek lain di luar persidangan juga dibahas dalam buku ini.
Papper ini akan mereview gagasan utama dalam buku tersebut, terutama mengenai konsepsi tentang negara : Negara Integralistik, Negara Islam, dan Negara Konstitusional. Alasan dipilihnya pembahasan atas tiga obyek tersebut, karena sebenarnya hampir semua bab dalam buku itu mengungkapkan perdebatan dari ketiga pandangan tersebut.

II. Dasar Ideologis Negara Dan HAM

Adnan Buyung Nasution, pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang pada masa Orde Baru merupakan salah satu elemen penting pergerakan rakyat yang kritis, khususnya di bidang hukum. Sikap kritis Adnan Buyung tampak dalam persidangan HR Dharsono, yang dituduh makar oleh Orde Baru. Sikap kritis dan berani Adnan Buyung dalam membela HR. Dharsono, membuat ia dituduh melakukan contempt of court, dan ijin prakteknya dicabut. Kemudian Adnan Buyung ke Belanda untuk melakukan studi doktoral di Universiteit Utrecht.
Konstituante yang dibentuk paska Pemilu 1959, bertugas untuk merumuskan UUD baru. Anggota Konstituante bersidang selama tiga tahun, sebelum kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Pada Bab I buku itu Adnan Buyung mendeskripsikan tentang Kehendak Rakyat Akan Kebebasan Politik. Bab ini sebagai pendahuluan, sehingga mengetengahkan hal-hal yang bersifat teoritik, juga sejarah Indonesia sejak pendudukan Jepang hingga kemerdekaan. Dasar teoritik buku itu, adalah tentang konstitusionalisme. Konstitusionalisme itulah yang menjadi titik pijak Buyung untuk membedah UUD 1945, sekaligus membahas apa yang sebenarnya terjadi di dalam maupun luar ruang sidang Konstituante.
Pada Bab II, Buyung berbicara soal Dasar Negara, dimulai pembahasan teoritik, hingga membahas perdebatan dasar ideologis negara Indonesia. Di sini Buyung memetakan ada tiga kelompok masyarakat yang memiliki gagasan tentang dasar negara : Negara Integralistik, Negara Islam, dan Negara Konstitusional. Meskipun dalam pengelompokan aspirasi ideologis, terbagi dalam
a. Blok Pancasila, yang menganggap bahwa kelima sila – Ketuhanan, Perikemanusian, Nasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan Sosial – merupakan dasar negara (PNI, IPKI, GPPS, Parkindo, Partai Katolik, PKI, Republik Proklamasi, Acoma, PSI, Baperki)[1]
b. Blok Islam, yang mengajukan Islam sebagai dasar negara (NU, Masyumi, PSII, Perti, PTI, GPS)[2].
c. Blok Sosial Ekonomi yang mengajukan ekonomi sosialis dan demokrasi sesuai dengan pasal 33 dan pasal 1 UUD 1945 sebagai dasar negara (Murba, Partai Buruh).
Konstituante yang merupakan hasil pemilihan umum tahun 1955 telah menghasilkan perwakilan rakyat. Konstituante yang terbentuk ini dilantik pada tanggal 10 November 1956 dan merupakan satu-satunya badan yang berwenang menyusun Undang-Undang Dasar. Anggota Konstituante terdiri dari wakil partai-partai politik yang terpilih dari hasil pemilu sebanyak 514 orang ditambah 30 orang yang mewakili golongan minoritas ( 12 orang wakil keturunan cina, 12 orang wakil golongan Indo-Eropa, dan 6 orang mewakili wilayah yang masih diduduki Belanda yaitu Irian Barat).
Dengan komposisi seperti itu, seringkali dan bahkan selalu terjadi perdebatan yang sengit diantara wakil-wakil rakyat tersebut. Hal tersebut memang yang diharapkan dalam pembentukan suatu undang-undang dasar bagi negara Indonesia yang hasilnya nanti benar-benar merupakan aspirasi dari rakyat Indonesia yang telah merdeka, dan untuk menentukan masa depan negara Indonesia.
Menurut Buyung (dalam BAB II) perdebatan penting yang menjadi perhatian, terutama adalah perdebatan mengenai Dasar Negara (1957), perdebatan mengenai hak-hak asasi manusia (1958) dan perdebatan mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 (1959). Perdebatan tentang Dasar Negara secara formal menyangkut Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi sebagai dasar negara. Perdebatan tentang hal ini sifatnya abstrak dan jauh dari masalah praktis yang diperlukan untuk menciptakan kerangka pengaturan negara.
Dalam perdebatan tentang dasar negara dikemukakan dua konsep negara, yaitu negara integralistik yang memakai legitimasi kebudayaan Indonesia dan Pancasila sebagai ideologi, serta negara berdasarkan Islam, dalam sejumlah aspek yang penting kedua konsep tersebut bertentangan dengan negara konstitusional, yaitu bahwa kedua konsep itu menolak suatu pembedaan antara negara dan masyarakat, padahal tanpa pembedaan tersebut, kontrol dan pembatasan kekuasaan oleh rakyat menjadi tidak berarti[3]. Padahal kontrol dan pembatasan kekuasaan oleh rakyat tersebut ditambah dengan pengakuan HAM adalah ciri khas suatu negara konstitusional. Kondisi yang terjadi pada saat itu bahwa pendukung negara konstitusional (baik golongan nasionalis maupun Islam) juga adalah sekaligus menginginkan suatu negara integralistik atau negara Islam, hal ini menunjukkan suatu inkonsistensi dalam wawasan yang disebabkan karena kelemahan konseptual, yaitu konsep tentang makna negara konstitusional[4].
Perdebatan tentang dasar negara diatas segala-galanya adalah suatu konfrontasi antar ideologi, antara pandangan hidup yang berbeda, yang bagi penganutnya masing-masing hal ini merupakan suatu kebenaran mutlak, sehingga perdebatan yang dilakukan hanya mampu lebih meyakinkan diri sendiri dan golongan yang sepaham, tetapi menjadikan kesepakatan yang semakin menjauh dari pihak lawan, yang akibatnya akan menimbulkan perdebatan yang antagonis, dan kompromi yang diharapkan akan dapat dicapai menjadi sesuatu kemustahilan; pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan polarisasi dan rasa permusuhan satu sama lain.
Perdebatan kedua (ditulis dalam BAB III) yaitu perdebatan tentang HAM. Perdebatan ini menurut Buyung bersifat konkrit dan terarah pada perlindungan nilai-nilai kemanusian yang mudah dilanggar, perlindungan terhadap hak-hak orang lemah dan juga pencegahan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dan golongan kuat dalam masyarakat. Dalam perdebatan di Konstituante juga terdapat sejumlah perbedaan pendapat yang berkaitan dengan : kebebasan beragama khususnya kebebasan berpindah agama dan peraturan agama mengenai perkawinan, tentang kemungkinan penyalahgunaan hak-hak asasi oleh modal raksasa dan orang kaya[5].
Perbedaan tentang HAM dalam perdebatan Konstituante ini tidak mengurangi arti kesepakatan fundamental tentang makna penting dari jaminan terhadap hak-hak asasi dalam konstitusi. Dalam sidang plenonya Konstituante menyimpulkan bahwa bab tentang HAM merupakan salah satu bab terpenting dari UUD yang baru, karena pemerintahan konstitusional yang diinginkan rakyat Indonesia adalah pemerintahan yang dibatasi oleh hukum dan HAM[6].

III. Kolektivisme Sebagai Induk Integralistik
            Seperti telah diungkapkan diawal, tulisan ini hanya akan membatasi pada arus utama pemikiran Adnan Buyung dalam disertasinya. Arus utamanya tentang Staatsidee Integralistik dan HAM. Dan dalam disertasinya itu, selain Bab I, Bab II, dan Bab III, lebih banyak kajian politik, sehingga menurut penulis kurang relevan bila dibahas dari kacamata Hukum Tata Negara.
Bagi Buyung, integralistik dianggap sebagai paham yang bersifat Hegelian[7]. Dan hal yang paling merisaukan Buyung ialah tidak adanya pembatasan kekuasaan negara, dan hak-hak perorangan tidak perlu dijamin dalam UUD[8].
Apa yang dimaksud Buyung itu, dan disebut sebagai prinsip konstitusionalisme, bukan hal baru dalam kajian tentang UUD 1945. Bahkan saat perumusan di BPUPKI, apa yang disampaikan oleh Buyung sudah disampaikan oleh beberapa anggota BPUPKI, terutama Moh. Hatta. Dan bagaimanapun, pandangan Buyung tentang integralistik, dipengaruhi oleh apa yang sudah dia lakukan, melalui LBH yang ia dirikan..
Sesungguhnya, tidak berimbang jika membahas staatsidee Integralistik hanya dari aspek praktek ketatanegaraan Indonesia, terutama dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan rezim otoritarian Orde Baru. Menurut penulis, dekrit dan otoritarian, merupakan bentuk penyimpangan dari UUD 1945. Namun karena alat kontrol demokrasi di Indonesia belum berjalan dengan baik, sehingga dua perilaku menyimpang dari konstitusi itu dapat berjalan.
Staatsidee Integralistik, sesungguhnya merupakan gagasan yang memiliki akar yang kuat pada bangsa Indonesia, bukan pengaruh Hegelian. Pandangan bahwa Integralistik terpengaruh pikiran Hegel, dibantah sendiri oleh Soepomo. Menurut Soepomo dasar negara tidak bisa hanya mengikuti teori dari negara lain, karena apa yang baik buat suatu negara belum tentu baik bagi negara lain. Oleh sebab itu Soepomo berpandangan bahwa susunan negara bertalian erat dengan riwayat hukum dan struktur sosial. Dalam pandangannya, teori “integralistik” sangat sesuai dengan riwayat hukum dan struktur sosial masyarakat Indonesia.
Soepomo maupun Soekarno ingin Indonesia yang akan didirikan itu dibangun atas sendi-sendi baru, tidak terjebak mengikuti negara individual-liberal. Tapi negara baru yang akan didirikan ialah negara yang berkedaulatan rakyat. Rakyat merupakan satu kesatuan, bukan individu-perindividu. Sistem politik yang dijalankan pun tidak menggunakan sistem individual-liberal, kolektivisme dengan prinsip musyawarah mufakat melalui perwakilan (rakyat). Dalam sistem pemerintahan, Soepomo dan Soekarno menolak presidensial murni dan juga menolak sistem parlementer karena kedua sistem tersebut dianggap cerminan negara liberal.
Secara teoritik, kolektivisme merupakan induk dari sosialisme. Kolektivisme sangat berbeda bahkan menolak totaliterianisme. Sehingga pandangan bahwa paham atau staatsidee integralistik bersifat totaliter, represif sangat tidak tepat. Dalam konteks ekonomi-politik dan ketatanegaraan, kolektivisme diterjemahkan sebagai “rezim perencanaan”[9].
Problem manusia dalam paham individuaistik-liberalistik ialah monopoli, dan dalam madzhab kolektivisme, monopoli harus ditekan melalui kontrol negara[10]. Monopoli industri yang dibiarkan, akan melahirkan penindasan dan penghisapan individu pada individu lain, dan karena itu negara –dalam paham kolektivisme—harus mengambil alih dengan kekuasaan yang dimilikinya. Negara harus diberi wewenang untuk menjalankan sistem tujuan-tujuan tersendiri dan sarana-sarana tersendiri untuk merealisasi tujuan-tujuan bersama mereka (individu-individu)[11]. Namun hak atau kebebasan negara untuk menjalankan sistem tujuan-tujuan dan sarana itu dibatasi oleh sebuah kesepakatan dari individu-individu tersebut.
Fitur-fitur umum semua sistem kolektivis dapat digambarkan, dalam sebuah frasa yang senantiasa disukai kaum sosialis semua mazhab, sebagai pengorganisasian secara sengaja seluruh kerja masyarakat demi suatu tujuan sosial yang pasti.
Ihwal bahwa masyarakat kita masa kini tidak memiliki arah “sadar” ke tujuan tunggal semacam itu, ihwal bahwa aktivitas-aktivitasnya dipandu oleh dorongan dan fantasi individu-individu yang tak bertanggungjawab, selalu menjadi salah satu keluhan utama para pengkritik sosialisnya.
Dalam banyak hal ini sangat memperjelas persoalan pokoknya. Dan ini segera mengarahkan kita ke titik munculnya konflik antara kebebasan individu dan kolektivisme[12]. Aneka ragam kolektivisme, komunisme, fasisme, dan lain-lain, masing-masing berbeda dalam hal sifat tujuan dari semua usaha masyarakat yang ingin mereka jadikan arah. Tetapi semua paham ini berbeda dari liberalisme dan individualisme dalam hal bahwa paham-paham tersebut ingin mengorganisasi seluruh masyarakat dan semua sumbernya untuk mencapai suatu tujuan tunggal, dan dalam hal bahwa paham-paham tersebut menolak untuk mengakui adanya wilayah-wilayah otonom yang di dalamnya tujuan-tujuan individu adalah junjungan tertinggi. Pendek kata, paham-paham itu bersifat totalitarian dalam arti sebenarnya dari kata baru ini, yang telah kita adopsi untuk menggambarkan berbagai wujud yang tak terduga namun tak dapat dipisahkan dari apa yang dalam teori kita namakan kolektivisme.
“Tujuan sosial”, atau “tujuan bersama”, yang untuknya masyarakat harus diorganisasikan, biasanya dideskripsikan secara tersamar sebagai “kemaslahatan bersama”, atau “kesejahteraan umum”, atau “kepentingan umum”. Tidak perlu banyak perenungan untuk melihat bahwa berbagai istilah ini tidak memiliki makna definitif yang memadai untuk menentukan suatu strategi atau rencana aksi khusus.
Kesejahteraan dan kebahagiaan jutaan orang tak dapat diukur berdasarkan satu skala tunggal mengenai kekurangan atau kelebihan. Kesejahteraan masyarakat, seperti juga kebahagiaan seorang manusia, bergantung pada bermacam ragam kombinasi faktor yang jumlahnya tak terbatas. lni tidak cukup diungkapkan hanya sebagai satu tujuan tunggal, melainkan sebagai hierarki dari berbagai tujuan, sebuah skala luas nilai-nilai yang di dalamnya semua kebutuhan setiap orang diberi tempat. Mengarahkan semua aktivitas kita berdasarkan hanya pada satu rencana tunggal mengandaikan bahwa setiap kebutuhan kita diberikan peringkatnya sesuai dengan urutan nilai-nilai yang harus cukup lengkap yang memungkinkan bagi sang perencana untuk melakukan pemilihan di antara berbagai alur perencanaan yang berbeda[13].
Kolektivisme tidak memiliki ruang bagi humanitarianisme yang luas sebagaimana liberalisme, melainkan hanya bagi partikularisme sempit dari paham-paham totalitarian. Jika “komunitas” atau negara lebih utama daripada individu, jika komunitas memiliki tujuan-tujuannya sendiri yang terlepas, dan lebih unggul, dari tujuan-tujuan individu, rnaka hanya individu-individu yang bekerja demi tujuan-tujuan yang sama dapat dipandang sebagai anggota komunitas. Suatu konsekuensi tak terelakkan dari pandangan ini adalah bahwa seseorang dihormati hanya sebagai anggota kelompok, maksudnya, hanya jika dan sejauh dia bekerja demi tujuan-tujuan bersama yang diakui, dan bahwa dia mendapatkan keseluruhan martabatnya hanya dari keanggotaannya ini dan bukan hanya dari fakta bahwa dia pada hakikatnya seorang manusia. Sesungguhnya, konsep-konsep kemanusiaan itu sendiri, dan karenanya konsep-konsep semua bentuk internasionalisme, seluruhnya adalah produk pan-dangan individualis tentang manusia, dan tak bisa ada tempat bagi konsep-konsep ini di dalam sistem pemikiran kolektivis[14]. Mengutip Nietzsche, Tetapi katakanlah kepadaku, wahai, saudara-saudaraku: jika kemanusiaan masih belum punya tujuan, bukankah kemanusiaan itu sendiri tidak ada?”
Terlepas dari fakta dasar bahwa komunitas kolektivisme dapat berkembang hanya sejauh kesatuan maksud dan tujuan para individu ada atau dapat diciptakan, beberapa faktor penyumbang memperkuat tendensi kolektivisme untuk menjadi partikularis dan eksklusif diantaranya, salah satu faktor terpenting adalah bahwa keinginan individu untuk mengidentifikasi diri dengan kelompok sangat sering merupakan akibat dari perasaan inferior, dan bahwa 'dengan demikian keinginannya hanya akan dapat dipuaskan jika keanggotaan dalam kelompok memberi posisi unggul di atas orang luar. Kadang kala, rupanya, fakta bahwa naluri kekerasan ini, yang si individu tahu harus dia kendalikan di dalam kelompoknya, tetapi dapat dibiarkan bebas merajalela di dalam aksi kolektif terhadap orang luar, justru menjadi dorongan lebih jauh untuk memadukan kepribadiannya dengan kepribadian kelompok. Ada kebenaran mendalam di dalam judul buku R. Niebuhr, Moral Man and Immoral Society-betapapun sedikit yang dapat kita setujui di dalam kesimpulan yang ditariknya dari tesisnya. Sebagaimana dikatakannya di dalam tulisannya yang lain, sesungguhnya ada “kecenderungan yang meningkat di antara manusia modern untuk membayangkan diri mereka bermoral karena mereka telah mendelegasikan tindakanburuk mereka ke kelompok-kelompok yang makin lama makin besar.” Bertindak demi suatu kelompok rupanya membebaskan orang dari banyak kendala moral yang mengontrol perilaku mereka sebagai individu dalam kelompok[15].
Sikap yang jelas antagonistik yang kebanyakan perencana ambil terhadap internasionalisme lebih jauh dijelaskan oleh fakta bahwa, dalam dunia yang ada sekarang, semua kontak dengan pihak luar yang dilakukan suatu kelompok adalah kendala bagi usaha mereka merencanakan dengan efektif suatu lingkungan yang di dalamnya mereka dapat mencoba menjalankan rencana itu. Karena itu bukanlah kebetulan bahwa, sebagaimana telah ditemukan penyunting salah satu kajian kolektif yang paling komprehensif mengenai  perencanaan dengan perasaan kecewa, sebagian besar perencana adalah nasionalis militan[16].
Tidak adanya aturan formal yang absolut di dalam etika kolektivis tentu saja tidak berarti bahwa tidak ada kebiasaan individu yang bermanfaat yang didorong atau kebiasaan lain yang dinafikan oleh suatu komunitas kolektivis. Malah sebaliknyag komunitas kolektivis akan memberikan perhatian yang jauh lebih besar pada kebiasaan kehidupan individu ketimbang komunitas individualis. Untuk menjadi anggota yang berguna dalam masyarakat kolektivis, orang memerlukan sifat-sifat yang sangat jelas yang harus diperkuat melalui praktik terus-menerus.
Konsepsi kolektivisme dalam UUD 1945 dapat dilihat:
1.      Kedaulatan berada di tangan rakyat, dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Hal ini merupakan bentuk konkret dari persatuan antara pemimpin dan rakyat. Majelis sebagai pemegang kedaulatan rakyat memilih presiden, sebagai mandataris (pasal 6 ayat (2) UUD 1945). Meski presiden memiliki kekuasaan tertinggi di bawah MPR (Pasal 4 ayat 1, Pasal 5, Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17 UUD 1945), namun pada hakekatnya dia harus tunduk pada Majelis. Presiden adalah “petugas” Majelis dalam menjalankan Garis Besar Haluan Negara (Pasal 3 UUD 1945).
2.      Karena negara mengatasi segala golongan yang ada dalam masyarakat, maka hal itu diwujudkan dalam keanggotaan MPR (Pasal 2 ayat (1) UUD 1945). Secara umum keanggotaan MPR dibagi tiga :
a.       Golongan Politik (Anggota DPR)
b.       Golongan Fungsional (Utusan Golongan)
c.       Golongan Rakyat (Utusan Daerah)
Dari ketiga golongan itu, hanya golongan politik yang dipilih melalui sistem demokrasi kepartaian, bukan demokrasi yang individualistik-liberalistik.
3.      Kekuasaan negara menggunakan sistem Distribution of Power. Karena hakekatnya MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, MPR yang memiliki kekuasaan tertinggi, maka MPR lah yang punya kewenangan untuk mendistribusikan kekuasaan untuk menjalankan negara. Oleh MPR kekuasaan didistribusikan :
a.       Eksekutif pada Presiden (Pasal 4-15 UUD 1945).
b.       Legeslatif pada DPR (Pasal 19-22 UUD 1945).
c.       Yudikatif pada Mahkamah Agung (Pasal 24-25 UUD 1945).
d.       Konsultatif pada Dewan Pertimbangan Agung (Pasal 16 UUD 1945.
e.       Auditif pada Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23 ayat (5) UUD 1945).

Karena masing-masing pemegang kuasa itu memperoleh kekuasaan dari MPR, maka diantara mereka tidak bisa saling menjatuhkan seperti di negara liberalistik-individualistik. Diantara mereka hanya menjalankan fungsi check and balances. Hal itu sekaligus menyiratkan kuatnya gagasan kolektivisme[17].

IV. Kesimpulan
            Dengan pembahasan tersebut di atas, maka perlu ada pemahaman yang lebih mendasar tentang gagasan Integralistiknya Soepomo. Integralistik bukanlah totaltarianisme yang potensial otoritarian, namun Integralistik merupakan “Rezim Perencanaan”. Kolektivisme merupakan lawan dari individualisme. Kolektivisme merupakan bentuk modern dari paguyuban, di mana tiap anggota paguyuban memiliki ikatan darah dan/atau ikatan daerah. Paham itulah yang sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia.
            Hak asasi manusia, dalam paham kolektivistik tidak bersikap mutlak, karena sesungguhnya hak asasi seseorang selalu dibatasi oleh orang lain. Paham individualistik-liberalistik meletakkan pembatas antar hak asasi yang satu dengan hak asasi yang lain dalam wilayah hukum, namun paham kolektivistik justru meletakkan pembatas pada negara, karena negara asal mula keberadaannya untuk mengatur individu-individu.
            Eksperimen MPR paska reformasi yang mengubah UUD 1945, mengganti staatsidee Integralistik dengan paham individualistik-liberalistik, justru meniptakan jebakan-jebakan konstitusional, dan jebakan-jebakan ketatanegaraan. Bila tak disikapi secara serius, maka jebakan-jebakan tersebut dapat membahayakan eksistensi negara.




[1] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia, Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2009
[2] ibid
[3] Ibid 
[4] Ibid hal 86
[5] Ibid hal 140-141
[6] Ibid hal 257-258
[7] Ibid hal 89
[8] Ibid hal 92
[9] Frederich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme, Freedom Institute-Friederich Naumann Stiftung, Jakarta, 2011, hlm 42.
[10] Ibid, hlm 50.
[11] Ibid, hlm 74.
[12] Ibid, hlm 69.
[13] Ibid, hlm 70.
[14] Ibid, hlm 176.
[15] Ibid,  hlm 177.
[16] Ibid,  hlm 178.
[17] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid pertama, (Jakarta, tanpa penerbit, 1959). Hal 38-39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar