Pendahuluan
Pada
saat penulis menulis skripsi untuk syarat kelulusan dari Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, dengan judul “Konsep Negara Integralistik Dalam
UUD 1945” ketika itu penulis berasumsi bahwa penerapan staats idee negara integralistik merupakan kehendak para founding fathers yang didominasi etnis
Jawa untuk menerapkan pemerintahan feodal yang otoriter.
Dalam
tulisan skripsi tersebut, penulis berpendapat staats idee integralistik
merupakan penerapan Teori Negara Organis yang digagas oleh George Wilhelm
Friedrich Hegel, dan diikuti oleh Spinoza dan Adam Mueller. Inti dari teori
negara organis yaitu negara memegang kontrol yang kuat atas warganya. Bahwa
individu baru menemukan peran dan fungsi dirinya setelah tunduk pada negara.
Negara adalah yang utama. Karena negara yang utama, maka negara akan membuat
aturan-aturan yang baik untuk warganya. Semua keputusan negara harus dianggap
benar, pendapat individu yang tidak sesuai dengan aturan negara harus dipahami
sebagai kegagalan individu dalam memahami kehendak negara.
Gagasan
dari Hegel, Benedictus de Spinoza dan Adam Mueler, oleh Soepomo dikatakan
sangat sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia. Dan Soepomo menyebut
staatsidee tersebut dengan istilah Integralistik. Pada prinsipnya integralistik
merupakan gagasan nation state, bukan
negara individual, juga bukan negara liberal. Negara yang mengatasi semua
individu dan golongan, negara yang bersatu jiwa dengan seluruh penduduknya.
Konsep persatuan jiwa itulah yang menurut Soepomo sudah lama berlaku pada
masyarakat adat di Indonesia. Dalam negara integralistik individu disebut
sebagai warga negara, yang eksistensinya baru ada apabila menundukkan diri pada
negara. Negara dalam konsepsi hukum adat adalah makro kosmos, dan individu
merupakan mikro kosmos. Individu sebagai mikro kosmos memiliki kewajiban untuk
tunduk dan menyelaraskan diri dengan makro kosmos.
Dengan
berbagai pertimbangan dan pendapat dari para ahli tata negara di atas, maka
penulis berkesimpulan UUD 1945 mengadopsi staatsidee integralistik yang digagas
Soepomo itu perlu diamandemen karena menjustifikasi authoritarianisme negara.
Paska
reformasi 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999 melakukan
amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, dari tahun 1999-2000. Semangat untuk
mengamandemen UUD 1945 didorong oleh keinginan untuk memperbaiki iklim
demokrasi, tata kelola pemerintahan, penghormatan terhadap hak asasi manusia,
meminimalisir peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Alasan melakukan
amandemen tersebut didasari oleh pandangan bahwa pemerintah Orde Baru telah
menjadi rezim otoriter dengan memperoleh pembenaran dari UUD 1945. Dengan
semangat reformasi, kehendak mayoritas rakyat yang tercermin dari anggota MPR
ingin memangkas peluang kembalinya pemerintah yang otoriter dari sumbernya,
yaitu UUD 1945.
Dengan
alasan seperti disebut di atas, para pemegang kedaulatan rakyat di MPR memiliki
anggapan, sama dengan penulis ketika sedang menulis skripsi, bahwa UUD 1945
memberi peluang lahirnya pemerintahan otoriter. Pemerintahan otoriter memiliki
kecenderungan berperilaku koruptif, kolutif, dan nepotis. Dan kecenderungan
perilaku negatif pemerintah itu mewujud dalam pemerintahan Orde Baru. Semangat
anti Orde Baru menjadi dasar utama kehendak untuk mengamandemen UUD 1945.
Memang
tak bisa dipungkiri bahwa keinginan mengamandemen UUD 1945 secara implisit
merupakan tuntutan reformasi. Tiga tuntutan utama yaitu memberantas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, perlu dilakukan dari sumber penyebab perilaku menyimpang
itu adalah pemerintahan yang otoriter yang memperoleh justifikasi melalui UUD.
Semangat
anti Orde Baru dijadikan sebagai dasar pijak untuk membedah konstitusi.
Sehingga, pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dianggap memberi peluang atau
memiliki celah untuk disalahgunakan diamandemen. Pembahasan pasal demi pasal
dalam melakukan amandemen UUD 1945 itu menunjukkan bahwa amandemen dilakukan
secara parsial. Karena dilakukan secara parsial, disesuaikan dengan suasana
kebatinan ketika MPR hasil Pemilu 1999 bersidang.
Amandemen
dengan semangat Anti Orde Baru yang dilakukan secara parsial itu tentu akan
berdampak pada ketatanegaraan Indonesia. Semangat anti Orde Baru tersebut
memunculkan keprihatinan banyak pihak, termasuk Prof. Dr. Sofian Effendi.
“Sistem kenegaraan dan
model pemerintahan negara yang ditetapkan melalui 4 kali amandemen pada kurun
waktu 1999-2002 jelas amat berbeda dari sistem negara dan model pemerintahan
negara yang dicita-citakan oleh para pendiri negara. Bahkan, model pemerintahan
negara yang berlaku, sistem presidensial, dianggap oleh founding fathers tidak
cocok untuk Negara Republik Indonesia yang sedang mereka bentuk karena secara
empiris banyak negara baru yang awalnya memilih model pemerintahan tersebut
kemudian berganti sistem karena sistem presidensial tidak mampu menciptakan
stabilitas pemerintahan yang sangat diperlukan oleh negara-negara yang baru
merdeka.[1]”
Keprihatinan Prof.
Sofian Efendi itu layak untuk dijadikan bahan kajian untuk melihat :
1 * Citanegara
apakah yang menjiwai UUD 1945?
* Bagaimana
implementasi citanegara tersebut dalam pasal-pasal UUD 1945?
* Bagaimana
citanegara tersebut memandang hak asasi manusia dan perekonomian nasional?
Karena
konstitusi merupakan barometer pemerintahan sebuah negara, maka tiga pertanyaan
tersebut layak dikaji untuk melihat pemerintahan Indonesia menurut konstitusi.
Teori Konstitusi
Salah satu ciri
negara modern ialah memiliki konstitusi tertulis. Konstitusi tertulis merupakan
pegangan dalam menjalankan negara agar sesuai dengan cita-citanya, atau sesuai
dengan cita-cita kemerdekaan. Konstitusi tertulis yang dapat dijadikan pedoman
atau pegangan, haruslah memenuhi standar dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmu pengetahuan.
Banyak teori
konstitusi baik teori positivis Kelsen, Carl Schmitt dengan teori keputusan
politik tertinggi, Hermann Heller yang memandang konstitusi merupakan hukum
dari kekuasaan negara. Juga teori konstitusi yang dikembangkan Stuyken.
Tulisan ini
lebih merujuk pada teori konstitusi Struyken. Karena keterbatasan referensi atas teori Struyken secara detail, karena memang belum ada yang
diterbitkan terutama dalam bahasa
Indonesia, maka pembahasan teori Stuyken dalam tulisan ini merujuk pada
buku Hukum Tata Negara yang ditulis oleh Prof. Mr. Djokosutono. Mengapa merujuk
pada Djokosutono, karena dalam buku tersebut Djokosutono membahas secara
terinci masalah konstitusi sebagai ilmu. Karena membahas konstitusi sebagai
ilmu, maka kita dapat memperoleh banyak bahan rujukan, yang dapat dipergunakan
untuk menganalisis UUD 1945 dari sudut pandang konstitusi modern.
Menurut Prof.
Mr. Djokosoetono, gronwet in materiele zin memuat dasar-dasar mengenai struktur
dan fungsi negara[2].
Mengutip pendapat Struyken, “grondwet is een wet van grondslagen en
grondbeginselen[3]” (konstitusi adalah hukum dasar yang memuat prinsip-prinsip).
Karena
konstitusi merupakan hukum dasar yang memuat prinsip-prinsip, Djokosutono
merujuk pada Stuyken, maka konstitusi harus memuat tiga unsur utama :
- Merupakan naskah tertulis
- Memuat garis-garis besar
- Merupakan undang-undang yang tertinggi.
Menurut Djokosutono, sebagai undang-undang yang
tertinggi, maka prosedur pembentukan maupun prosedur perubahan konstitusi harus
bersifat istimewa[4].
Dan sebagai
Undang-undang tertinggi, konstitusi haruslah memuat garis-garis besar (saja),
bukan merupakan kodifikasi. Konstitusi yang memuat garis-garis besar, menurut
Djokosutono yang merujuk pada pendapat Von Ihering, harus memenuhi tiga sifat :
1.
Hasil
filsafat, yaitu isi konstitusi dapat dikembalikan pada beberapa sendi saja
2.
Hasil
kesenian yaitu kata-katanya sederhana sekali sehingga mudah dimengerti setiap
orang
3.
Hasil
ilmu pengetahuan yaitu di dalamnya tidak terdapat pertentangan-pertentangan[5].
Karena
konstitusi merupakan hasil filsafat, maka filosofi sebuah negara dapat dilihat
dari konstitusinya. Filosofi yang memuat cita negara (staatsidee) merupakan dasar dari bangunan negara. Sebagai dasar
dari bangunan negara, maka akan terbaca :
- Staatsbouw : apakah negara kesatuan atau federasi?
- Sifat konstitusi : apakah fleksible/supel atau rigid?
- Legeslatieve : apakah kiesstelsel-nya bersandarkan direct kiesrecht atau indirect kiesrecht?
- Executieve : apakah parlementair atau presidentiel?
- Judicative : apakah bersandarkan “Rule of Law” atau “Administratief Systeem”?[6]
Sedang sebagai
karya kesenian, dalam arti merujuk pada kemampuan nalar bahasa, maka konstitusi
harus menggunakan kata yang sederhana dan mudah dimengerti. Istilah sederhana
dan mudah dimengerti tentu bersifat relatif apabila berkaitan dengan materi
atau isi konstitusi, karena dipengaruhi oleh fakor pendidikan dan faktor-faktor
lain. Namun secara formil, sederhana dan mudah dimengerti dapat diterjemahkan
sebagai penggunaan kalimat yang tidak bersusun, atau kalimat yang
berputar-putar, sehingga jelas maknanya. Dan juga menggunakan bahasa yang
dimengerti, yaitu bahasa yang dikuasai oleh seluruh rakyat,l atau mayoritas
rakyat, dalam konteks UUD 1945, menggunakan bahasa Indonesia.
Merupakan hasil
pengetahuan, dapa dijelaskan sebagai upaya permusan konstitusi yang dilakukan
dengan teliti dan hati-hati, bersifat logis, sehingga tidak ada pertentangan
antara satu pasal dengan pasal lainnya, tidak ada pertentangan antara Pembukaan
dengan Batang Tubuh, dan sebagainya[7].
UUD 1945
Merujuk pada
teori konstitusi yang dijelaskan oleh Djokosoetono di atas, maka kita akan
melihat apakah UUD 1945 telah memenuhi unsur-unsur konstitusi modern, dengan
segala unsur dan sifatnya.
Secara formal,
UUD 1945 merupakan konstitusi tertulis yang dirumuskan oleh anggota Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Memuat garis-garis
besar saja, atau hanya memuat aturan yang dasar dan prinsip bagi sebuah negara. Dua unsur formal konstitusi modern sudah
dipenuhi oleh UUD 1945.
Sedang unsur yang ketiga,
“Merupakan Hukum Tertinggi,” dalam hirarkhi tertib hukum di Indonesia, menurut
Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978, UUD 1945 bukan
merupakan hukum tertinggi, sebab yang merupakan sumber hukum tertinggi di
Indonesia adalah Pancasila. Namun Tap tersebut dihapus dan diganti dengan
ketetapan MPR No. III/MPR/2000, yang menyebutkan UUD 1945 sebagai hukum
tertinggi. Ketetapan MPR tersebut ditindaklanjuti dengan UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Perundang-undangan disebutkan tentang tata aturan
perundang-undangan ialah :
- UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945.
- UU atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
- Peraturan pemerintah.
- Peraturan presiden.
- Peraturan daerah
Berbeda
dengan rumusan Tap MPR dan UU, Prof.
Notonagoro berpendapat bahwa Pancasila merupakan hukum tertinggi[8].
Dalam hal
perdebatan tersebut, penulis lebih merujuk pada produk hukum terbaru, yaitu Tap
No. III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun
2004, bahwa UUD 1945 merupakan hukum tertinggi.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 secara formal telah memenuhi unsur
sebagai konstitusi modern.
Kemudian
secara material, bahwa konstitusi merupakan hasil filsafat, hasil kesenian dan
hasil pengetahuan, secara umum dapat dilihat bahwa UUD 1945 telah memenuhi
unsur-unsur tersebut. Karena dalam UUD 1945 memuat filosofi masyarakat
Indonesia, yang dirumuskan oleh anggota BPUPKI. Dan bila merujuk pada
keseluruhan pasal-pasal dalam UUD 1945 pada dasarnya hanya memuat beberapa
sendi saja. Hal ini akan diurai lebih mendalam pada sub bab berikutnya.
Bahwa
UUD 1945 merupakan hasil kesenian, karena menggunakan kalimat yang sederhana
dan mudah dimengerti, juga terbaca dengan jelas. Dalam UUD 1945 baik dalam
pembukaan maupun pasal-pasalnya, para founding
fathers telah merumuskan konstitusi kita dengan bahasa yang sederhana,
tidak mbulet, sehingga mudah
dipahami. Dan dirumuskan dengan bahasa Indonesia.
Sedang
mengenai hasil pengetahuan, yang harus memenuhi kaidah tidak ada pertentangan
di dalamnya, akan diuji pada bab selanjutnya.
Staatsidee
Indonesia
Sebagai
negara yang akan merdeka, pada bulan Mei tahun 1945, atas prakarsa Jepang
beberapa tokoh pergerakan Indonesia membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. Tugas dan fungsi BPUPKI ialah merumuskan bangunan negara
Indonesia, baik mengenai tujuan negara, konstitusi yang di dalamnya memuat
bentuk negara, sistem pemerintahan, wilayah, dan hak-hak rakyat.
Para
founding fathers yang terhimpun dalam
BPUPKI dapat disebut merupakan bentuk ideal dari masyarakat madani, karena
keanggotaannya merupakan representasi dari golongan masyarakat yang ada di
Indonesia, dari berbagai suku, ras, agama. Dan sebagai perwujudan masyarakat
madani, BPUPKI telah berhasil membuat karya monumental berupa UUD 1945. UUD
1945 dapat disebut sebagai karya monumental karena mencirikan bangunan negara
modern yang bersumber dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Negara
Indonesia menurut UUD 1945 merupakan bentuk yang khas dan unik, tidak mencontoh
negara lain, dan juga mencerminkan kearifan lokal, tidak berdasar pada teori
negara tertentu. Bentuk negara Indonesia adalah Indonesia.
Dalam
sidang BPUPKI, para founding fathers
memiliki kesadaran bersama untuk membangun Indonesia bersendirkan suasana
kebatinan bangsa Indonesia. Suasana kebatinan Indonesia bersumberkan pada
kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, yang tercermin dari persekutuan
masyarakat adat. Suasana kebatinan dimaksud adalah kehidupan masyarakat yang
bercirikan kolektivisme.
Spirit
kolektivitas itu tercermin jelas dalam sidang-sidang BPUPKI, terutama ketika
membahas citanegara (staatsidee)
Indonesia. Secara umum disebutkan dalam sidang BPUPKI terjadi perdebatan antara
Soepomo (dan Soekarno) di satu sisi, dengan Moh. Hatta (dan Yamin) di sisi
lain. Namun bila dikaji lebih mendalam, dengan bersumber pada satu-satunya
risalah sidang yang dapat ditemui, yaitu buku Naskah Persiapan Undang-undang
Dasar 1945, yang dihimpun oleh M. Yamin, perdebatan yang terjadi bukanlah
menyangkut citanegara atau staatsidee, melainkan hanya pada persoalan perlunya
negara menjamin hak-hak individu.
Sedang
masalah bentuk dan tujuan negara tidak terjadi perdebatan antara Soepomo dan
Hatta. Justru perdebatan yang terjadi antara kelompok kebangsaan (Hatta, Yamin,
Soekarno, Soepomo dalam satu barisan) dengan kelompok Islam (Ki Bagus Hadi
Kusumo, Abdul Kahar Muzzakir, Kyai Masjkur dan beberapa tokoh Islam lain).
Secara
prinsip, para founding fathers
menyetujui cita negara Indonesia tidak bersifat individualistik, tetapi
kolektifistik. Kolektivistik itu oleh Soekarno dan Soepomo disebut Kekeluargaan[9].
Meski di sisi lain Soepomo dan Soekarno masih menggunakan istilah-istilah lain.
Soekarno lebih senang menyebut kolektivisme itu dengan istilah Gotong Royong,
karena dinilai dinamis[10],
sedang Soepomo terkadang menggunakan istilah Integralistik[11].
Sedang Hatta menyebut dengan istilah kekeluargaan dan negara pengurus.
Dari
buku M. Yamin itu dapat kita baca, bahwa hanya Soepomo yang secara detail
membahas konsep negara yang akan dibangun. Soepomo, selain merujuk pada teori
negara individualistik dan liberal, juga negara golongan, dan negara
Integralistik[12].
Dan menurut pandangan Soepomo, juga tercermin dalam pendapat Soekarno dan
Yamin, negara liberal-individual ditolak. Demikianpula halnya negara golongan.
Tidak
ada satupun, bila kita merujuk pada buku Yamin, yang memperdebatkan semangat
kolektif yang disampaikan oleh Soepomo, Soekarno, Hatta dan Yamin. Hal itu
menjadi bukti bahwa secara prinsip para founding
fathers menyetujui citanegara integralistik, atau negara kekeluargaan, atau
negara gotong royong.
Mengapa
anggota BPUPKI sepakat dengan gagasan Soekarno dan Soepomo tentang negara
berdasarkan kolektivisme? Menurut penulis, karena kolektivisme dipandang
sebagai konsep ketatanegaraan asli Indonesia. Selain itu kolektivisme dianggap
sebagai jaaban atas semangat individualistik-liberalistik, yang telah sepakat
ditolak.
Untuk
lebih memperjelas kesepakatan tentang kolektivisme itu dapat dilihat dari
pokok-pokok pidato Soepomo, Yamin, dan Soekarno, serta pendapat Hatta dalam
sidang BPUPKI.
1. Inti
gagasan integralistik Soepomo adalah :
- Gagasan Negara : Negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun[13]. Negara tidak lain ialah seluruh masyarakat atau seluruh rakyat Indonesia sebagai persatuan yang teratur dan tersusun. Tidak ada dualisme antara staats dan individu. Individu tidak lain ialah bagian organik dari staat yang mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk turut menyelenggarakan kemuliaan staat[14].
- Bentuk negara : Persatuan[15]
- Sistem pemerintahan : (bukan parlementer) Presidensiil[16], Konstitusional[17]
- Sistem politik : Musyawarah, Perwakilan[18]
- Sistem perekonomian : Sosialisme Negara[19]
- Hubungan negara dan rakyat : Persatuan jiwa
Enam gagasan
itu oleh Soepomo secara bersamaan di berbagai pembahasan disebut integralistik,
kekeluargaan, organis, totaliter, yang pada esensinya merupakan semangat
kolektivisme. Apa yang digagas oleh Soepomo itu sejalan dengan apa yang
disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945.
2.
Pokok-pokok pikiran Soekarno dalam
sidang BPUPKI :
- Gagasan Negara : Kedaulatan di tangan rakyat[20]. Negara gotong royong, yaitu satu usaha, satu amal, satu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama. Amal semua buat semua, negara tanpa diskriminasi kelas[21]. Negara bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial[22]
- Bentuk negara : Persatuan[23]
- Sistem pemerintahan : Presidensiil
- Sistem Politik : Mufakat, Perwakilan permusyawaratan[24]
- Sistem perekonomian : Gotong royong[25]
- Hubungan Negara dan Rakyat : Persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib[26]
Dari
pendapat Soepomo dan Soekarno yang telah dikutip di atas, tidak ada perbedaan
yang mendasar. Baik Soepomo maupun Soekarno ingin Indonesia yang akan didirikan
itu dibangun atas sendi-sendi baru, tidak terjebak mengikuti negara
individual-liberal. Tapi negara baru yang akan didirikan ialah negara yang
berkedaulatan rakyat. Rakyat merupakan satu kesatuan, bukan
individu-perindividu. Sistem politik yang dijalankan pun tidak menggunakan
sistem individual-liberal, kolektivisme dengan prinsip musyawarah mufakat
melalui perwakilan (rakyat). Dalam sistem pemerintahan, Soepomo dan Soekarno
menolak parlementer karena sistem parlementer dianggap cerminan negara liberal.
Gagasan
Soepomo dan Soekarno itu juga diterima oleh Yamin dan Hatta.
3.
Pokok-pokok pikiran M. Yamin :
- Gagasan Negara : negara sebagai suatu batang tubuh, yang satu-satu sel mengerjakan kewajiban atas permufakatan yang menimbulkan perlainan dan perbedaan kerja, tetapi untuk kesempurnaan seluruh badan[27] Persatuan rakyat dalam ikatan sejarah yang dilindungi[28]. Negara kebangsaan dan berketuhanan[29]. Kedaulatan rakyat berdasar perikemanusiaan yang universal[30].
- Bentuk negara : Kesatuan atas paham unitaris[31]
- Sistem pemerintahan : Presidensiil[32]
- Sistem politik : Musyawarah, Perwakilan[33]
- Sistem perekonomian : Organis[34]
- Hubungan negara dan rakyat : Persatuan karena ikatan sejarah[35]
4.
Pandangan Hatta dalam Sidang BPUPKI
:
- Gagasan Negara : Negara pengurus, dengan dasar gotong royong dan usaha bersama, atau atas dasar collectivisme. Negara wajib menjamin kepada rakyat hak untuk merdeka berpikir[36]. Kedaulatan rakyat dengan pembatasan kekuasaan negara[37].
- Bentuk negara : Federal
- Sistem pemerintahan : Presidensiil
- Sistem politik : Musyawarah, Perwakilan
- Sistem perekonomian : Koperasi sebagai perwujudan usaha bersama atas dasar kekeluargaan
- Hubungan negara dan rakyat : Negara Menjamin kemerdekaan rakyat untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dan pendapat
Dari empat
pendapat tersebut, ternyata bahwa para faunding
fathers sepakat bahwa negara Indonesia yang hendak didirikan ialah negara
berdasarkan kekeluargaan, atau kolektivisme. Tidak ada perbedaan mendasar,
kecuali hanya dalam hal penggunaan istilah, prinsipnya semua sepakat agar
Indonesia tidak menggunakan konsep negara dari negara lain, tapi asli
Indonesia.
Kesimpulan :
Citanegara Kolektivisme
Dari pokok-pokok gagasan Soepomo, Soekarno, Yamin, dan
Hatta, yang dibahas oleh seluruh anggota BPUPKI yang berjumlah 67 orang.
Seperti sudah disinggung di atas bahwa keanggotaan BPUPKI dapat disebut sebagai
perwujudan masyarakat madani, hal itu dapat dilihat betapa dinamis dan
kondusifnya perdebatan yang terjadi. Masyarakat madani yang tercermin di BPUPKI
itu kemudian dapat menghasilkan UUD 1945 yang dapat disebut karya monumental.
Gagasan citanegara atau staatsidee sebenarnya sama sekali tidak muncul dalam sidang BPUPKI.
Hanya Soepomo dan Soekarno yang menyatakan gagasan citanegara itu. Sedang
Yamin, lebih fokus pada bentuk negara, hubungan daerah, batas wilayah, dan
hal-hal teknis negara lainnya. Hatta secara prinsip mengungkapkan gagasan
perlunya pembatasan kekuasaan, dan perlunya jaminan hak-hak rakyat.
Dalam sidang-sidang selanjutnya dilakukan pembahasan
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Gagasan citanegara kolektivisme semakin
terlihat secara nyata dalam Pembukaan dan Batang Tubuh, juga gagasan Hatta
serta Yamin tentang hak-hak warga negara tetap diakomodasi. Akomodasi gagasan
Hatta dan Yamin tidak berarti menggantikan citanegara kolektivisme,
kekeluargaan, atau gotong royong. Namun lebih bersifat menyempurnakan. Atau
dengan kata lain : konsep negara integralistik yang menurut Soepomo digagas
Hegel, Spinoza dan Mueller, dijadikan sebagai pijakan teori, namun kemudian
ditambahkan dengan konsep masyarakat adat Indonesia. Organis plus masyarakat
adat inilah yang disebut sebagai kolektivisme, kekeluargaan, gotong royong,
baik oleh Soepomo, Soekarno, Hatta, maupun Yamin. Namun dalam penuangan gagasan
kolektivisme itu dalam konstitusi, masih disesuaikan lagi dengan mengadopsi
gagasan Hatta, Yamin dan tokoh-tokoh lain.
Dengan konsepsi seperti itu, maka dapat disimpulkan
bahwa citanegara atau staatsidee
Indonesia adalah kolektivstik, kekeluargaan, atau gotong royong. Dalam
perjalanannya, istilah gotong royong jarang digunakan. Dalam penjelasan UUD
1945[38], citanegara
Indonesia disebutkan sebagai:
“Negara” --begitu bunyinya—melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan untuk mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia[39].
Istilah yang digunakan ialah “persatuan”. Dalam pidato
Soepomo, yang dimaksud persatuan ialah persatuan lahir dan batin antara
pemimpin dan rakyat. Sehingga tidak ada dualisme antara individu dan staats,
negara mengatasi semua golongan yang ada.
Konsepsi persatuan atau dengan istilah lain integral,
akan tampak pada sistem pemerintahan Indonesia. Pokok-pokok pikiran kolektivisme
dalam UUD 1945 dapat dilihat :
1.
Kedaulatan berada di tangan rakyat,
dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan rakyat. Hal ini merupakan bentuk
konkret dari persatuan antara pemimpin dan rakyat. Majelis sebagai pemegang
kedaulatan rakyat memilih presiden, sebagai mandataris. Meski presiden memiliki
kekuasaan tertinggi di bawah MPR, namun pada hakekatnya dia harus tunduk pada
Majelis. Presiden adalah “petugas” Majelis dalam menjalankan Garis Besar Haluan
Negara.
2.
Karena negara mengatasi segala
golongan yang ada dalam masyarakat, maka hal itu diwujudkan dalam keanggotaan
MPR. Secara umum keanggotaan MPR dibagi tiga :
- Golongan Politik (Anggota DPR)
- Golongan Fungsional (Utusan Golongan)
- Golongan Rakyat (Utusan Daerah)
Dari ketiga
golongan itu, hanya golongan politik yang dipilih melalui sistem demokrasi kepartaian, bukan demokrasi yang individualistik-liberalistik.
3. Kekuasaan negara menggunakan sistem Distribution of Power. Karena hakekatnya
MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, MPR yang memiliki kekuasaan tertinggi,
maka MPR lah yang punya kewenangan untuk mendistribusikan kekuasaan untuk
menjalankan negara. Oleh MPR kekuasaan didistribusikan :
- Eksekutif pada Presiden
- Legeslatif pada DPR
- Yudikatif pada Mahkamah Agung
- Konsultatif pada Dewan Pertimbangan Agung
- Auditif pada Badan Pemeriksa Keuangan
Karena masing-masing pemegang kuasa itu memperoleh
kekuasaan dari MPR, maka diantara mereka tidak bisa saling menjatuhkan seperti
di negara liberalistik-individualistik. Diantara mereka hanya menjalankan
fungsi check and balances. Hal itu
sekaligus menyiratkan kuatnya gagasan kolektivisme.
----------------------------------------------------------------------
Daftar
Sumber :
Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Jakarta, Ghalia
Indonesia
Efendi,Sofian Sistem Pemerintahan Negara Berdasarkan Faham Kekeluargaan dan Idiologi
Negara Pancasila, makalah disampaikan pada Seminar Wawasan Kebangsaan dan
Pengamalan Pancasila. https://dunialppkb.wordpress.com/sistem-pemerintahan-negara/
Huda, Ni;matul, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia,
Depok, Rajawali Pers
Mahfud MD, Moh, 2013, Perdebatan Hukum Tata Negara
Pascaamandemen Konstitusi, Depok, Rajawali pers
Notonagoro, 1978, Beberapa Hal Mengenai Falsafah
Pancasila Jakarta, Pantjuran Tudjuh
Soemantri, Sri, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia,
Pemikiran dan Pandangan, Bandung, Rosda
Strong, CF, 2015, Konstitusi-konstitusi Politik Modern,
Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, Bandung, Nusa Media
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori dan
Hukum Konstitusi, 1999, Depok, Rajawali pers
Yamin, Muhammad, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang
Dasar 1945, Jakarta, tanpa penerbit[40]
[1] Prof. Dr. Sofian Efendi, Sistem
Pemerintahan Negara Berdasarkan Faham
Kekeluargaan dan Idiologi Negara Pancasila, makalah disampaikan pada Seminar Wawasan Kebangsaan dan Pengamalan
Pancasila.
[2] Prof. Mr. Djokosutono, Hukum Tata Negara
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Dalam bagian ini, maka layak untuk dilakukan kajian lebih lanju
tentang UUD hasil amandemen
[8] Prof. DR. Drs. Notonagoro, SH, Beberapa Hal Mengenai Falsafah
Pancasila
[9] Prof. Mr. Hadji Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang
Dasar 1945
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] ibid
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Ibid. Penggunaan istilah “sel” dan “seluruh badan” tampaknya lebih
mendekati teori negara organisnya Spinoza. Yang justru Soepomo sendiri tidak
menggunakan istilah itu.
[28] Ibid
[29] ibid
[30] Ibid
[31] Ibid
[32] Ibid
[33] Ibid
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Ibid
[37] Ibid
[38] Penjelasan, menurut beberapa sumber oleh Soekarno diserahkan pada
Soepomo. Sebenarnya bukan hanya Penjelasan, tapi Soepomo diberi tugas untuk
melakukan finalisasi draft UUD 1945.
[39] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar