Sabtu, 05 Oktober 2019

Citanegara Kolektivisme Dalam UUD 1945

Pendahuluan
Pada saat penulis menulis skripsi untuk syarat kelulusan dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dengan judul “Konsep Negara Integralistik Dalam UUD 1945” ketika itu penulis berasumsi bahwa penerapan staats idee negara integralistik merupakan kehendak para founding fathers yang didominasi etnis Jawa untuk menerapkan pemerintahan feodal yang otoriter.
Dalam tulisan skripsi tersebut, penulis berpendapat staats idee integralistik merupakan penerapan Teori Negara Organis yang digagas oleh George Wilhelm Friedrich Hegel, dan diikuti oleh Spinoza dan Adam Mueller. Inti dari teori negara organis yaitu negara memegang kontrol yang kuat atas warganya. Bahwa individu baru menemukan peran dan fungsi dirinya setelah tunduk pada negara. Negara adalah yang utama. Karena negara yang utama, maka negara akan membuat aturan-aturan yang baik untuk warganya. Semua keputusan negara harus dianggap benar, pendapat individu yang tidak sesuai dengan aturan negara harus dipahami sebagai kegagalan individu dalam memahami kehendak negara.
Gagasan dari Hegel, Benedictus de Spinoza dan Adam Mueler, oleh Soepomo dikatakan sangat sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia. Dan Soepomo menyebut staatsidee tersebut dengan istilah Integralistik. Pada prinsipnya integralistik merupakan gagasan nation state, bukan negara individual, juga bukan negara liberal. Negara yang mengatasi semua individu dan golongan, negara yang bersatu jiwa dengan seluruh penduduknya. Konsep persatuan jiwa itulah yang menurut Soepomo sudah lama berlaku pada masyarakat adat di Indonesia. Dalam negara integralistik individu disebut sebagai warga negara, yang eksistensinya baru ada apabila menundukkan diri pada negara. Negara dalam konsepsi hukum adat adalah makro kosmos, dan individu merupakan mikro kosmos. Individu sebagai mikro kosmos memiliki kewajiban untuk tunduk dan menyelaraskan diri dengan makro kosmos.
Dengan berbagai pertimbangan dan pendapat dari para ahli tata negara di atas, maka penulis berkesimpulan UUD 1945 mengadopsi staatsidee integralistik yang digagas Soepomo itu perlu diamandemen karena menjustifikasi authoritarianisme negara.
Paska reformasi 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999 melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, dari tahun 1999-2000. Semangat untuk mengamandemen UUD 1945 didorong oleh keinginan untuk memperbaiki iklim demokrasi, tata kelola pemerintahan, penghormatan terhadap hak asasi manusia, meminimalisir peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Alasan melakukan amandemen tersebut didasari oleh pandangan bahwa pemerintah Orde Baru telah menjadi rezim otoriter dengan memperoleh pembenaran dari UUD 1945. Dengan semangat reformasi, kehendak mayoritas rakyat yang tercermin dari anggota MPR ingin memangkas peluang kembalinya pemerintah yang otoriter dari sumbernya, yaitu UUD 1945.
Dengan alasan seperti disebut di atas, para pemegang kedaulatan rakyat di MPR memiliki anggapan, sama dengan penulis ketika sedang menulis skripsi, bahwa UUD 1945 memberi peluang lahirnya pemerintahan otoriter. Pemerintahan otoriter memiliki kecenderungan berperilaku koruptif, kolutif, dan nepotis. Dan kecenderungan perilaku negatif pemerintah itu mewujud dalam pemerintahan Orde Baru. Semangat anti Orde Baru menjadi dasar utama kehendak untuk mengamandemen UUD 1945.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa keinginan mengamandemen UUD 1945 secara implisit merupakan tuntutan reformasi. Tiga tuntutan utama yaitu memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, perlu dilakukan dari sumber penyebab perilaku menyimpang itu adalah pemerintahan yang otoriter yang memperoleh justifikasi melalui UUD.
Semangat anti Orde Baru dijadikan sebagai dasar pijak untuk membedah konstitusi. Sehingga, pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dianggap memberi peluang atau memiliki celah untuk disalahgunakan diamandemen. Pembahasan pasal demi pasal dalam melakukan amandemen UUD 1945 itu menunjukkan bahwa amandemen dilakukan secara parsial. Karena dilakukan secara parsial, disesuaikan dengan suasana kebatinan ketika MPR hasil Pemilu 1999 bersidang.
Amandemen dengan semangat Anti Orde Baru yang dilakukan secara parsial itu tentu akan berdampak pada ketatanegaraan Indonesia. Semangat anti Orde Baru tersebut memunculkan keprihatinan banyak pihak, termasuk Prof. Dr. Sofian Effendi.
“Sistem kenegaraan dan model pemerintahan negara yang ditetapkan melalui 4 kali amandemen pada kurun waktu 1999-2002 jelas amat berbeda dari sistem negara dan model pemerintahan negara yang dicita-citakan oleh para pendiri negara. Bahkan, model pemerintahan negara yang berlaku, sistem presidensial, dianggap oleh founding fathers tidak cocok untuk Negara Republik Indonesia yang sedang mereka bentuk karena secara empiris banyak negara baru yang awalnya memilih model pemerintahan tersebut kemudian berganti sistem karena sistem presidensial tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang sangat diperlukan oleh negara-negara yang baru merdeka.[1]
Keprihatinan Prof. Sofian Efendi itu layak untuk dijadikan bahan kajian untuk melihat :
1                     * Citanegara apakah yang menjiwai UUD 1945?
             * Bagaimana implementasi citanegara tersebut dalam pasal-pasal UUD 1945?
             * Bagaimana citanegara tersebut memandang hak asasi manusia dan perekonomian nasional?
Karena konstitusi merupakan barometer pemerintahan sebuah negara, maka tiga pertanyaan tersebut layak dikaji untuk melihat pemerintahan Indonesia menurut konstitusi.
Teori Konstitusi
Salah satu ciri negara modern ialah memiliki konstitusi tertulis. Konstitusi tertulis merupakan pegangan dalam menjalankan negara agar sesuai dengan cita-citanya, atau sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Konstitusi tertulis yang dapat dijadikan pedoman atau pegangan, haruslah memenuhi standar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu pengetahuan.
Banyak teori konstitusi baik teori positivis Kelsen, Carl Schmitt dengan teori keputusan politik tertinggi, Hermann Heller yang memandang konstitusi merupakan hukum dari kekuasaan negara. Juga teori konstitusi yang dikembangkan Stuyken.
Tulisan ini lebih merujuk pada teori konstitusi Struyken. Karena keterbatasan referensi atas teori Struyken secara detail, karena memang belum ada yang diterbitkan terutama dalam bahasa  Indonesia, maka pembahasan teori Stuyken dalam tulisan ini merujuk pada buku Hukum Tata Negara yang ditulis oleh Prof. Mr. Djokosutono. Mengapa merujuk pada Djokosutono, karena dalam buku tersebut Djokosutono membahas secara terinci masalah konstitusi sebagai ilmu. Karena membahas konstitusi sebagai ilmu, maka kita dapat memperoleh banyak bahan rujukan, yang dapat dipergunakan untuk menganalisis UUD 1945 dari sudut pandang konstitusi modern.
Menurut Prof. Mr. Djokosoetono, gronwet in materiele zin memuat dasar-dasar mengenai struktur dan fungsi negara[2]. Mengutip pendapat Struyken, “grondwet is een wet van grondslagen en grondbeginselen[3]”  (konstitusi adalah hukum dasar yang memuat prinsip-prinsip).
Karena konstitusi merupakan hukum dasar yang memuat prinsip-prinsip, Djokosutono merujuk pada Stuyken, maka konstitusi harus memuat tiga unsur utama :
  1.        Merupakan naskah tertulis
  2.        Memuat garis-garis besar
  3.        Merupakan undang-undang yang tertinggi.

Menurut  Djokosutono, sebagai undang-undang yang tertinggi, maka prosedur pembentukan maupun prosedur perubahan konstitusi harus bersifat istimewa[4]
Dan sebagai Undang-undang tertinggi, konstitusi haruslah memuat garis-garis besar (saja), bukan merupakan kodifikasi. Konstitusi yang memuat garis-garis besar, menurut Djokosutono yang merujuk pada pendapat Von Ihering, harus memenuhi tiga sifat :
1.     Hasil filsafat, yaitu isi konstitusi dapat dikembalikan pada beberapa sendi saja
2.     Hasil kesenian yaitu kata-katanya sederhana sekali sehingga mudah dimengerti setiap orang
3.     Hasil ilmu pengetahuan yaitu di dalamnya tidak terdapat pertentangan-pertentangan[5].
Karena konstitusi merupakan hasil filsafat, maka filosofi sebuah negara dapat dilihat dari konstitusinya. Filosofi yang memuat cita negara (staatsidee) merupakan dasar dari bangunan negara. Sebagai dasar dari bangunan negara, maka akan terbaca :
  •        Staatsbouw : apakah negara kesatuan atau federasi?
  •        Sifat konstitusi : apakah fleksible/supel atau rigid?
  •        Legeslatieve : apakah kiesstelsel-nya bersandarkan direct kiesrecht atau indirect kiesrecht?
  •        Executieve : apakah parlementair atau presidentiel?
  •        Judicative : apakah bersandarkan “Rule of Law” atau “Administratief Systeem”?[6]

Sedang sebagai karya kesenian, dalam arti merujuk pada kemampuan nalar bahasa, maka konstitusi harus menggunakan kata yang sederhana dan mudah dimengerti. Istilah sederhana dan mudah dimengerti tentu bersifat relatif apabila berkaitan dengan materi atau isi konstitusi, karena dipengaruhi oleh fakor pendidikan dan faktor-faktor lain. Namun secara formil, sederhana dan mudah dimengerti dapat diterjemahkan sebagai penggunaan kalimat yang tidak bersusun, atau kalimat yang berputar-putar, sehingga jelas maknanya. Dan juga menggunakan bahasa yang dimengerti, yaitu bahasa yang dikuasai oleh seluruh rakyat,l atau mayoritas rakyat, dalam konteks UUD 1945, menggunakan bahasa Indonesia.
Merupakan hasil pengetahuan, dapa dijelaskan sebagai upaya permusan konstitusi yang dilakukan dengan teliti dan hati-hati, bersifat logis, sehingga tidak ada pertentangan antara satu pasal dengan pasal lainnya, tidak ada pertentangan antara Pembukaan dengan Batang Tubuh, dan sebagainya[7].
UUD 1945
Merujuk pada teori konstitusi yang dijelaskan oleh Djokosoetono di atas, maka kita akan melihat apakah UUD 1945 telah memenuhi unsur-unsur konstitusi modern, dengan segala unsur dan sifatnya.
Secara formal, UUD 1945 merupakan konstitusi tertulis yang dirumuskan oleh anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Memuat garis-garis besar saja, atau hanya memuat aturan yang dasar dan prinsip bagi sebuah negara.  Dua unsur formal konstitusi modern sudah dipenuhi oleh UUD 1945.
Sedang unsur yang ketiga, “Merupakan Hukum Tertinggi,” dalam hirarkhi tertib hukum di Indonesia, menurut Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978, UUD 1945 bukan merupakan hukum tertinggi, sebab yang merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia adalah Pancasila. Namun Tap tersebut dihapus dan diganti dengan ketetapan MPR No. III/MPR/2000, yang menyebutkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Ketetapan MPR tersebut ditindaklanjuti dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan disebutkan tentang tata aturan perundang-undangan ialah :
  1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945.
  2. UU atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
  3. Peraturan pemerintah.
  4. Peraturan presiden.
  5. Peraturan daerah
Berbeda dengan rumusan Tap MPR dan UU, Prof. Notonagoro berpendapat bahwa Pancasila merupakan hukum tertinggi[8].
Dalam hal perdebatan tersebut, penulis lebih merujuk pada produk hukum terbaru, yaitu Tap No. III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun 2004, bahwa UUD 1945 merupakan hukum tertinggi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 secara formal telah memenuhi unsur sebagai konstitusi modern.
Kemudian secara material, bahwa konstitusi merupakan hasil filsafat, hasil kesenian dan hasil pengetahuan, secara umum dapat dilihat bahwa UUD 1945 telah memenuhi unsur-unsur tersebut. Karena dalam UUD 1945 memuat filosofi masyarakat Indonesia, yang dirumuskan oleh anggota BPUPKI. Dan bila merujuk pada keseluruhan pasal-pasal dalam UUD 1945 pada dasarnya hanya memuat beberapa sendi saja. Hal ini akan diurai lebih mendalam pada sub bab berikutnya.
Bahwa UUD 1945 merupakan hasil kesenian, karena menggunakan kalimat yang sederhana dan mudah dimengerti, juga terbaca dengan jelas. Dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan maupun pasal-pasalnya, para founding fathers telah merumuskan konstitusi kita dengan bahasa yang sederhana, tidak mbulet, sehingga mudah dipahami. Dan dirumuskan dengan bahasa Indonesia.
Sedang mengenai hasil pengetahuan, yang harus memenuhi kaidah tidak ada pertentangan di dalamnya, akan diuji pada bab selanjutnya.
 Staatsidee Indonesia
Sebagai negara yang akan merdeka, pada bulan Mei tahun 1945, atas prakarsa Jepang beberapa tokoh pergerakan Indonesia membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tugas dan fungsi BPUPKI ialah merumuskan bangunan negara Indonesia, baik mengenai tujuan negara, konstitusi yang di dalamnya memuat bentuk negara, sistem pemerintahan, wilayah, dan hak-hak rakyat.
Para founding fathers yang terhimpun dalam BPUPKI dapat disebut merupakan bentuk ideal dari masyarakat madani, karena keanggotaannya merupakan representasi dari golongan masyarakat yang ada di Indonesia, dari berbagai suku, ras, agama. Dan sebagai perwujudan masyarakat madani, BPUPKI telah berhasil membuat karya monumental berupa UUD 1945. UUD 1945 dapat disebut sebagai karya monumental karena mencirikan bangunan negara modern yang bersumber dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Negara Indonesia menurut UUD 1945 merupakan bentuk yang khas dan unik, tidak mencontoh negara lain, dan juga mencerminkan kearifan lokal, tidak berdasar pada teori negara tertentu. Bentuk negara Indonesia adalah Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI, para founding fathers memiliki kesadaran bersama untuk membangun Indonesia bersendirkan suasana kebatinan bangsa Indonesia. Suasana kebatinan Indonesia bersumberkan pada kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, yang tercermin dari persekutuan masyarakat adat. Suasana kebatinan dimaksud adalah kehidupan masyarakat yang bercirikan kolektivisme.
Spirit kolektivitas itu tercermin jelas dalam sidang-sidang BPUPKI, terutama ketika membahas citanegara (staatsidee) Indonesia. Secara umum disebutkan dalam sidang BPUPKI terjadi perdebatan antara Soepomo (dan Soekarno) di satu sisi, dengan Moh. Hatta (dan Yamin) di sisi lain. Namun bila dikaji lebih mendalam, dengan bersumber pada satu-satunya risalah sidang yang dapat ditemui, yaitu buku Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, yang dihimpun oleh M. Yamin, perdebatan yang terjadi bukanlah menyangkut citanegara atau staatsidee, melainkan hanya pada persoalan perlunya negara menjamin hak-hak individu.
Sedang masalah bentuk dan tujuan negara tidak terjadi perdebatan antara Soepomo dan Hatta. Justru perdebatan yang terjadi antara kelompok kebangsaan (Hatta, Yamin, Soekarno, Soepomo dalam satu barisan) dengan kelompok Islam (Ki Bagus Hadi Kusumo, Abdul Kahar Muzzakir, Kyai Masjkur dan beberapa tokoh Islam lain).
Secara prinsip, para founding fathers menyetujui cita negara Indonesia tidak bersifat individualistik, tetapi kolektifistik. Kolektivistik itu oleh Soekarno dan Soepomo disebut Kekeluargaan[9]. Meski di sisi lain Soepomo dan Soekarno masih menggunakan istilah-istilah lain. Soekarno lebih senang menyebut kolektivisme itu dengan istilah Gotong Royong, karena dinilai dinamis[10], sedang Soepomo terkadang menggunakan istilah Integralistik[11]. Sedang Hatta menyebut dengan istilah kekeluargaan dan negara pengurus.
Dari buku M. Yamin itu dapat kita baca, bahwa hanya Soepomo yang secara detail membahas konsep negara yang akan dibangun. Soepomo, selain merujuk pada teori negara individualistik dan liberal, juga negara golongan, dan negara Integralistik[12]. Dan menurut pandangan Soepomo, juga tercermin dalam pendapat Soekarno dan Yamin, negara liberal-individual ditolak. Demikianpula halnya negara golongan.
Tidak ada satupun, bila kita merujuk pada buku Yamin, yang memperdebatkan semangat kolektif yang disampaikan oleh Soepomo, Soekarno, Hatta dan Yamin. Hal itu menjadi bukti bahwa secara prinsip para founding fathers menyetujui citanegara integralistik, atau negara kekeluargaan, atau negara gotong royong.
Mengapa anggota BPUPKI sepakat dengan gagasan Soekarno dan Soepomo tentang negara berdasarkan kolektivisme? Menurut penulis, karena kolektivisme dipandang sebagai konsep ketatanegaraan asli Indonesia. Selain itu kolektivisme dianggap sebagai jaaban atas semangat individualistik-liberalistik, yang telah sepakat ditolak.
Untuk lebih memperjelas kesepakatan tentang kolektivisme itu dapat dilihat dari pokok-pokok pidato Soepomo, Yamin, dan Soekarno, serta pendapat Hatta dalam sidang BPUPKI.
1.     Inti gagasan integralistik Soepomo adalah :
  •       Gagasan Negara : Negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun[13]. Negara tidak lain ialah seluruh masyarakat atau seluruh rakyat Indonesia sebagai persatuan yang teratur dan tersusun. Tidak ada dualisme antara staats dan individu. Individu tidak lain ialah bagian organik dari staat yang mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk turut menyelenggarakan kemuliaan staat[14].
  •        Bentuk negara : Persatuan[15]
  •        Sistem pemerintahan : (bukan parlementer) Presidensiil[16], Konstitusional[17]
  •        Sistem politik : Musyawarah, Perwakilan[18]
  •        Sistem perekonomian : Sosialisme Negara[19]
  •         Hubungan negara dan rakyat : Persatuan jiwa

Enam gagasan itu oleh Soepomo secara bersamaan di berbagai pembahasan disebut integralistik, kekeluargaan, organis, totaliter, yang pada esensinya merupakan semangat kolektivisme. Apa yang digagas oleh Soepomo itu sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945.
2.     Pokok-pokok pikiran Soekarno dalam sidang BPUPKI :
  •         Gagasan Negara : Kedaulatan di tangan rakyat[20]. Negara gotong royong, yaitu satu usaha, satu amal, satu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama. Amal semua buat semua, negara tanpa diskriminasi kelas[21]. Negara bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial[22]
  •          Bentuk negara : Persatuan[23]
  •      Sistem pemerintahan : Presidensiil
  •      Sistem Politik : Mufakat, Perwakilan permusyawaratan[24]
  •      Sistem perekonomian : Gotong royong[25]
  •    Hubungan Negara dan Rakyat : Persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib[26]

Dari pendapat Soepomo dan Soekarno yang telah dikutip di atas, tidak ada perbedaan yang mendasar. Baik Soepomo maupun Soekarno ingin Indonesia yang akan didirikan itu dibangun atas sendi-sendi baru, tidak terjebak mengikuti negara individual-liberal. Tapi negara baru yang akan didirikan ialah negara yang berkedaulatan rakyat. Rakyat merupakan satu kesatuan, bukan individu-perindividu. Sistem politik yang dijalankan pun tidak menggunakan sistem individual-liberal, kolektivisme dengan prinsip musyawarah mufakat melalui perwakilan (rakyat). Dalam sistem pemerintahan, Soepomo dan Soekarno menolak parlementer karena sistem parlementer dianggap cerminan negara liberal.
Gagasan Soepomo dan Soekarno itu juga diterima oleh Yamin dan Hatta.
3.     Pokok-pokok pikiran M. Yamin :
  •      Gagasan Negara : negara sebagai suatu batang tubuh, yang satu-satu sel mengerjakan kewajiban atas permufakatan yang menimbulkan perlainan dan perbedaan kerja, tetapi untuk kesempurnaan seluruh badan[27] Persatuan rakyat dalam ikatan sejarah yang dilindungi[28]. Negara kebangsaan dan berketuhanan[29]. Kedaulatan rakyat berdasar perikemanusiaan yang universal[30].
  •        Bentuk negara : Kesatuan atas paham unitaris[31]
  •       Sistem pemerintahan : Presidensiil[32]
  •      Sistem politik : Musyawarah, Perwakilan[33]
  •      Sistem perekonomian : Organis[34]
  •      Hubungan negara dan rakyat : Persatuan karena ikatan sejarah[35]

4.     Pandangan Hatta dalam Sidang BPUPKI :
  •       Gagasan Negara : Negara pengurus, dengan dasar gotong royong dan usaha bersama, atau atas dasar collectivisme. Negara wajib menjamin kepada rakyat hak untuk merdeka berpikir[36]. Kedaulatan rakyat dengan pembatasan kekuasaan negara[37].
  •       Bentuk negara : Federal
  •      Sistem pemerintahan : Presidensiil
  •        Sistem politik : Musyawarah, Perwakilan
  •    Sistem perekonomian : Koperasi sebagai perwujudan usaha bersama atas dasar kekeluargaan
  •     Hubungan negara dan rakyat : Negara Menjamin kemerdekaan rakyat untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dan pendapat

Dari empat pendapat tersebut, ternyata bahwa para faunding fathers sepakat bahwa negara Indonesia yang hendak didirikan ialah negara berdasarkan kekeluargaan, atau kolektivisme. Tidak ada perbedaan mendasar, kecuali hanya dalam hal penggunaan istilah, prinsipnya semua sepakat agar Indonesia tidak menggunakan konsep negara dari negara lain, tapi asli Indonesia.
Kesimpulan : Citanegara Kolektivisme
Dari pokok-pokok gagasan Soepomo, Soekarno, Yamin, dan Hatta, yang dibahas oleh seluruh anggota BPUPKI yang berjumlah 67 orang. Seperti sudah disinggung di atas bahwa keanggotaan BPUPKI dapat disebut sebagai perwujudan masyarakat madani, hal itu dapat dilihat betapa dinamis dan kondusifnya perdebatan yang terjadi. Masyarakat madani yang tercermin di BPUPKI itu kemudian dapat menghasilkan UUD 1945 yang dapat disebut karya monumental.
Gagasan citanegara atau staatsidee sebenarnya sama sekali tidak muncul dalam sidang BPUPKI. Hanya Soepomo dan Soekarno yang menyatakan gagasan citanegara itu. Sedang Yamin, lebih fokus pada bentuk negara, hubungan daerah, batas wilayah, dan hal-hal teknis negara lainnya. Hatta secara prinsip mengungkapkan gagasan perlunya pembatasan kekuasaan, dan perlunya jaminan hak-hak rakyat.
Dalam sidang-sidang selanjutnya dilakukan pembahasan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Gagasan citanegara kolektivisme semakin terlihat secara nyata dalam Pembukaan dan Batang Tubuh, juga gagasan Hatta serta Yamin tentang hak-hak warga negara tetap diakomodasi. Akomodasi gagasan Hatta dan Yamin tidak berarti menggantikan citanegara kolektivisme, kekeluargaan, atau gotong royong. Namun lebih bersifat menyempurnakan. Atau dengan kata lain : konsep negara integralistik yang menurut Soepomo digagas Hegel, Spinoza dan Mueller, dijadikan sebagai pijakan teori, namun kemudian ditambahkan dengan konsep masyarakat adat Indonesia. Organis plus masyarakat adat inilah yang disebut sebagai kolektivisme, kekeluargaan, gotong royong, baik oleh Soepomo, Soekarno, Hatta, maupun Yamin. Namun dalam penuangan gagasan kolektivisme itu dalam konstitusi, masih disesuaikan lagi dengan mengadopsi gagasan Hatta, Yamin dan tokoh-tokoh lain.
Dengan konsepsi seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa citanegara atau staatsidee Indonesia adalah kolektivstik, kekeluargaan, atau gotong royong. Dalam perjalanannya, istilah gotong royong jarang digunakan. Dalam penjelasan UUD 1945[38], citanegara Indonesia disebutkan sebagai:
“Negara” --begitu bunyinya—melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia[39].
Istilah yang digunakan ialah “persatuan”. Dalam pidato Soepomo, yang dimaksud persatuan ialah persatuan lahir dan batin antara pemimpin dan rakyat. Sehingga tidak ada dualisme antara individu dan staats, negara mengatasi semua golongan yang ada.
Konsepsi persatuan atau dengan istilah lain integral, akan tampak pada sistem pemerintahan Indonesia. Pokok-pokok pikiran kolektivisme dalam UUD 1945 dapat dilihat :
1.     Kedaulatan berada di tangan rakyat, dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan rakyat. Hal ini merupakan bentuk konkret dari persatuan antara pemimpin dan rakyat. Majelis sebagai pemegang kedaulatan rakyat memilih presiden, sebagai mandataris. Meski presiden memiliki kekuasaan tertinggi di bawah MPR, namun pada hakekatnya dia harus tunduk pada Majelis. Presiden adalah “petugas” Majelis dalam menjalankan Garis Besar Haluan Negara.
2.     Karena negara mengatasi segala golongan yang ada dalam masyarakat, maka hal itu diwujudkan dalam keanggotaan MPR. Secara umum keanggotaan MPR dibagi tiga :
  1. Golongan Politik (Anggota DPR)
  2. Golongan Fungsional (Utusan Golongan)
  3. Golongan Rakyat (Utusan Daerah)

Dari ketiga golongan itu, hanya golongan politik yang dipilih melalui sistem demokrasi kepartaian, bukan demokrasi yang individualistik-liberalistik.
3.    Kekuasaan negara menggunakan sistem Distribution of Power. Karena hakekatnya MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, MPR yang memiliki kekuasaan tertinggi, maka MPR lah yang punya kewenangan untuk mendistribusikan kekuasaan untuk menjalankan negara. Oleh MPR kekuasaan didistribusikan :
  1.  Eksekutif pada Presiden
  2.  Legeslatif pada DPR
  3. Yudikatif pada Mahkamah Agung
  4. Konsultatif pada Dewan Pertimbangan Agung
  5. Auditif pada Badan Pemeriksa Keuangan

Karena masing-masing pemegang kuasa itu memperoleh kekuasaan dari MPR, maka diantara mereka tidak bisa saling menjatuhkan seperti di negara liberalistik-individualistik. Diantara mereka hanya menjalankan fungsi check and balances. Hal itu sekaligus menyiratkan kuatnya gagasan kolektivisme.

---------------------------------------------------------------------- 
Daftar Sumber :
Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia
Efendi,Sofian Sistem Pemerintahan Negara  Berdasarkan Faham Kekeluargaan dan Idiologi Negara Pancasila, makalah disampaikan pada Seminar Wawasan Kebangsaan dan Pengamalan Pancasila. https://dunialppkb.wordpress.com/sistem-pemerintahan-negara/
Huda, Ni;matul, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia, Depok, Rajawali Pers
Mahfud MD, Moh, 2013, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, Depok, Rajawali pers
Notonagoro, 1978, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila Jakarta, Pantjuran Tudjuh
Soemantri, Sri, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia, Pemikiran dan Pandangan, Bandung, Rosda
Strong, CF, 2015, Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, Bandung, Nusa Media
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, 1999, Depok, Rajawali pers
Yamin, Muhammad, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, tanpa penerbit[40]






[1] Prof. Dr. Sofian Efendi, Sistem Pemerintahan Negara  Berdasarkan Faham Kekeluargaan dan Idiologi Negara Pancasila, makalah disampaikan pada Seminar Wawasan Kebangsaan dan Pengamalan Pancasila.
[2] Prof. Mr. Djokosutono, Hukum Tata Negara
[3] Ibid

[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Dalam bagian ini, maka layak untuk dilakukan kajian lebih lanju tentang UUD hasil amandemen
[8] Prof. DR. Drs. Notonagoro, SH, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila

[9] Prof. Mr. Hadji Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] ibid
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Ibid. Penggunaan istilah “sel” dan “seluruh badan” tampaknya lebih mendekati teori negara organisnya Spinoza. Yang justru Soepomo sendiri tidak menggunakan istilah itu.
[28] Ibid
[29] ibid
[30] Ibid
[31] Ibid
[32] Ibid
[33] Ibid
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Ibid
[37] Ibid
[38] Penjelasan, menurut beberapa sumber oleh Soekarno diserahkan pada Soepomo. Sebenarnya bukan hanya Penjelasan, tapi Soepomo diberi tugas untuk melakukan finalisasi draft UUD 1945.
[39] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar